DAFTAR ISI
A. LATAR BELAKANG
B. FAKTA MASALAH
C. PENYEBAB MASALAH INTERNAL
D. Masalah BBM yang Delematis
D. Masalah BBM yang Delematis
1. Opsi Delematis
o
Kesatu
o
Kedua
o
Ketiga
o
Keempat
o
Kelima
o
Keenam
o
Ketujuh
E. MASALAH DAN SOLUSI
E. PENUTUP
E. PENUTUP
o
Kesimpulan
LATAR BELAKANG
KASUS
Kenaikan Harga BBM
Saat
ini, banyak sekali kegiatan manusia di muka bumi ini yang menggunakan energi
dari Bahan Bakar Minyak (BBM). Bahkan hampir di setiap lini ada saja energi
dari minyak yang digunakan. Sebut saja memasak, menggerakan mobil/motor,
menggerakan mesin-mesin pabrik, menghidupkan listrik, mejalankan kapal,
menerbangkan pesawat dan lain sebagainya.
Setelah
terbuai selama puluhan tahun dengan melimpahnya sumberdaya minyak bumi, manusia
mulai khawatir akan habis/hilangnya sumberdaya ini apabila dieksploitasi secara
terus-menerus. Kekhawatiran ini dikarenakan manusia masih kesulitan menemukan
sumber energi lain yang serupa manfaatnya maupun ekonomisnya dengan minyak
bumi.
Di
Indonesia, seruan pemerintah agar masyarakat menurunkan tingkat konsumsi energi
BBM dengan segala cara, sepertinya kurang berhasil. Terbukti konsumsi BBM per
tahunnya selalu meningkat. Padahal seruan ini sudah membawa-bawa berbagai macam
alasan, diataranya adalah untuk mengurangi emisi/pencemaran udara, mengurangi
efek global warming dan lain sebagainya, termasuk untuk menghemat subsidi BBM
dari APBN yang terus meningkat.
Tapi
upaya-upaya itu seperti tidak digubris oleh masyarakat kita. Lihat saja
sekarang, berapa kali lipat jumlah sepeda motor dibandingkan 10 tahun yang
lalu? berapa jumlah mobil dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu? Kendaraan
bermotor seperti sepeda motor dan mobil yang dulu merupakan barang mewah,
sekarang seperti jajanan pasar saja yang siapa saja bisa membeli termasuk
masyarakat golongan ekonomi lemah. Kemudahan dalam pembelian dengan adanya
perusahaan-perusahaan pembiayaan merupakan salah satu faktor utama. Di samping
itu, regulasi pemerintah dalam membatasi jumlah kendaraan bermotor juga seperti
datang terlambat.
Peningkatan jumlah kendaraan
bermotor sudah barang tentu meningkatkan konsumsi Bahan Bakar Minyak. Padahal
sebagian besar produk BBM di Indonesia yang beredar di pasaran (SPBU) adalah
BBM bersubsidi. Apabila tidak dicarikan solusi, Negara pasti akan koleps karena
devisit anggaran gara-gara APBN banyak dipakai untuk subsidi BBM, yang entah
siapa yang minum. Sebenarnya, apabila anggaran subsidi BBM tersebut
dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan lain, pasti akan lebih bermanfaat,
asal tidak dikorupsi.
Fakta Masalah
Sudah bisa dipastikan, kenaikan BBM akan merugikan
masyarakat. Pengguna BBM seperti pengendara motor dan mobil akan langsung
merasakannya. Transportasi umum juga sudah pasti akan menaikkan ongkos jasanya,
sehingga pengguna transportasi umum juga akan segera merasakan dampaknya. Lalu,
para pengguna transportasi umum kemungkinan akan beralih ke sepeda motor untuk
berhemat, sehingga kenaikan harga BBM pun akan membunuh transportasi umum.
Semuanya akan kejepit.
Tapi tidak hanya sektor transportasi yang akan terkena dampaknya.
Dalam Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2012 Tentang Harga Jual Eceran dan
Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Tertentu, disebutkan beberapa kategori
pengguna BBM bersubsidi selain transportasi. Mereka adalah usaha perikanan yang
terdiri dari nelayan dan pembudi daya ikan skala kecil; usaha pertanian kecil
dengan luas maksimal 2 hektar; usaha mikro; dan pelayanan umum seperti
krematorium. Semua pengguna ini akan terkena dampak kenaikan harga BBM.
Logikanya mirip dengan dampak di sektor transportasi. Kita
ambil contoh petani kecil tanaman pangan. Harga tanaman pangan para petani ini
akan naik, karena ongkos produksi untuk memproduksi tanaman pangannya akan naik
akibat kenaikan harga BBM. Artinya, para pembeli tanaman pangan para petani ini
akan terkena dampaknya. Lalu, dengan lumayan banyaknya tanaman pangan impor,
ada kemungkinan para pembeli tanaman pangan si petani akan beralih ke tanaman
pangan impor. Akibatnya, kenaikan harga BBM pun akan membunuh usaha pertanian
si petani kecil.
Kenaikan BBM memang cenderung akan menaikkan harga
barang-barang lain atau inflasi. Para ahli pun sudah memprediksinya, meski
dengan angka yang beragam. Pengamat ekonomi Aviliani, misalnya, menyatakan
bahwa kenaikan harga BBM akan mengakibatkan tingkat inflasi nasional tahun ini
menjadi 6,5%. “Apabila kenaikan BBM berkisar Rp1.500 sampai Rp2.000 kemungkinan
inflasi akan bertambah sekitar 1 hingga 2 persen sehingga inflasi nasional akan
naik menjadi sekitar 6,5%,” ungkap Aviliani seperti dikutip Antaranews.com
(25/2).
Tahun 2012 ini pemerintah kembali dihadapkan pada kenaikan
harga minyak dunia. Meskipun kenaikan tersebut dipicu oleh ketegangan politik
sesaat di Timur Tengah, tidak ada seorang pun yang berani memprediksi sampai
kapan berlangsung.
Banyak yang menyarankan bahwa tahun 2011 pemerintah
seharusnya sudah menaikkan harga BBM, khususnya premium secara bertahap agar
dampaknya tidak memberatkan. Namun, pemerintah tidak mendengarkan aspirasi
tersebut.
Sekarang pemerintah mencoba membatasi BBM mulai April 2012
dan menutup kenaikan harga BBM. Upaya sudah dilakukan, tetapi belum siap dan
bahkan keteteran persiapannya, baik dari sisi infrastruktur maupun
sosial-ekonomi. Dengan tekanan harga minyak dunia, kini pemerintah mulai
berpikir realistis untuk menaikkan harga BBM. Sayang, pemerintah tidak bisa
bertindak cepat karena tidak memiliki landasan hukum akibat lalai dalam UU APBN
2012 Pasal 7 Ayat 4 dan Ayat 6.
Kejadian 2005 dan 2008 terulang kembali, kenaikan harga BBM
tidak bisa ditawar lagi. Dengan subsidi akan mencapai Rp 200 triliun jika harga
BBM tidak dinaikkan, pemerintah bermaksud menurunkan harga pada tingkat yang
wajar. Caranya seperti yang diwacanakan di media. Pertama, melalui penetapan
subsidi per liter sepanjang tahun atau kedua, penetapan (kenaikan) harga per
liter satu kali dengan besaran tertentu.
Alternatif pertama berarti harga premium akan berubah sesuai
dengan harga keekonomiannya (atau harga pasar). Kebijakan ini sangat membantu
APBN memberikan kepastian anggaran subsidi dan akan diadministrasikan oleh
Pertamina, seperti Pertamax. Bedanya untuk Premium masih akan diberlakukan
sistem subsidi harga. Kebijakan ini ada kemungkinan bertentangan dengan UU
Migas karena Mahkamah Konstitusi telah menghapus pasal yang menyebutkan pola
penetapan harga BBM berdasarkan harga pasar. Alternatif ini jika lolos dari
sisi hukum akan memberikan kepastian dari sisi APBN. Risikonya adalah apabila
harga minyak dunia turun, pendapatan minyak turun, sementara subsidi BBM tetap
alhasil APBN bisa tekor.
Alternatif kedua adalah kenaikan harga BBM. Sangat sederhana
dan mudah, tetapi besarannya sulit ditentukan karena ketidakpastian harga
minyak dunia. Belum lagi apabila dilakukan secara agresif, dampak
sosial-ekonominya akan terasa berat.
PENYEBAB MASALAH INTERNAL
Yang
pertama Harga minyak dunia melebihi angka USD.100, dan yang kedua asumsi harga
minyak di APBN 2011 pada angka USD80 per barel, dan jika harga minyak mencapai
USD100 per barel, dibutuhkan tambahan subsidi sebesar Rp64 triliun.
Tahun 2012, anggaran subsidi BBM Rp123 triliun dan listrik Rp45 triliun dengan asumsi harga minyak mentah dunia USD90, dan setiap kenaikan harga minyak mentah dunia sebesar USD1 akan menambah beban subsidi BBM dan listrik sebesarRp3,2 triliun.
Setelah sempat sekian lama terkatung-katung tanpa adanya
kejelasan, Pemerintah tampaknya benar-benar akan menaikkan harga BBM pada
pertengahan tahun 2012 nanti. Pada Tahun 2011 yang lalu sebenarnya pemerintah
telah membentuk sebuah tim kajian dari tiga perguruan tinggi yang diketuai oleh
anggito abimanyu. Tim kajian ini bekerja bukanlah tanpa hasil karena
sesungguhnya tim ini telah merumuskan beberapa rekomendasi yang digunakan dalam
menganalisa kebijakan naiknya harga BBM pada tahun 2012 ini. Dan salah satu
poin dalam rekomendasi itu adalah menganjurkan agar pemerintah baru
mengimplementasikan naiknya harga BBM itu pada bulan April 2012 ini. Namun
entah karena sebab apa, seluruh hasil kajian itu tak pernah dipakai hingga saat
ini.
Pada akhir tahun 2011 pemerintah bukannya mengimplementasikan
hasil kajian tersebut namun malah mengeluarkan wacana yang kurang masuk akal
yaitu membatasi konsumsi BBM dan melakukan konversi ke pemakaian gas. Hal
ini Disebut kurang masuk akal karena kebijakan membatasi konsumsi BBM
sesungguhnya tidak efektif tatkala diterapkan. Kita seringkali melihat himbauan
terkait pembatasan pemakaian BBM bersubsidi di beberapa pom bensin, namun
sampai saat ini himbauan itu masih dianggap sebagai angin lalu oleh masyarakat.
Hanya beberapa orang di kalangan atas yang memang mematuhinya walaupun seringkali
orang itu melakukannya karena gengsi semata yang disebabkan oleh dia memiliki
mobil mewah sehingga harus membeli bensin yang juga tidak standar yaitu
pertamax. Adalagi wacana pemerintah untuk membatasi pemakaian bensin
subsidi, yaitu dengan melakukan program konversi ke gas. Namun seperti yang
kita tahu, infrastruktur di Indonesia sendiri sangat belum mendukung untuk
dilakukannya program konversi gas itu,selain karena membutuhkan dana besar
untuk melaksanakan program konversi untuk membangun stasiun pengisian bahan
bakar gas, juga diperlukan proses panjang dan waktu yang cukup lama untuk mampu
membiasakan masyarakat yang sudah terbiasa menggunakan BBM bersubsidi.belum
lagi ditambah juga biaya yang harus dibayar oleh masyarakat untuk memasang alat
di kendaraan mereka untuk mampu menggunakan bahan bakar gas. Sehingga sangat
terlihat bahwa program ini sebenarnya berjalan dengan sangat dipaksakan dan
belum menjadi solusi optimal dalam menyelesaikan permasalahan BBM di Indonesia.
Setelah kritik bertubi-tubi berdatangan kepada pemerintah, akhirnya pemerintah
pun mengeliminasi kebijakan tersebut.
Pro kontra kenaikan harga BBM ini sebetulnya sudah dimaklumi
oleh sebagian besar masyarakat. Mereka paham atas dua situasi yang dialami
Indonesia: cadangan minyak yang menipis (sehingga kita telah lama menjadi
importir) dan harga minyak internasional yang merosot. Mayoritas rakyat juga
paham bahwa subsidi minyak sebagian besar secara langsung dinikmati oleh
golongan berpendapatan menengah atas. Bahkan, jika dibandingkan dengan masa
lalu, sekarang terdapat fenomena yang jarang ditemui: parlemen/DPR mendorong
agar pemerintah menaikkan harga BBM. Ini jelas hal yang menarik, sebab sejak
dulu parlemen paling kritis terhadap rencana kenaikan harga BBM.
Memang sampai kini masih ada beberapa anggota parlemen/partai
politik yang menolak rencana tersebut, tapi jumlahnya tidak banyak sehingga
hampir pasti kebijakan kenaikan BBM disetujui oleh DPR/MPR .karena seperti yang
kita ketahui, para anggota dewan kita termasuk kalangan yang memang
mengagungkan kenyamanan mereka sendiri tanpa memperdulikan kondisi yang
berkembang di masyarakat
Realita lain yang perlu kita cermati sebagai bahan pemikiran
sebelum menaikkan harga BBM di masyarakat adalah masih sangat buruknya
infrastruktur dan sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan. Di luar Jawa sangat
sering ditemui sarana jalan dalam kondisi rusak berat sehingga mengganggu
pergerakan kegiatan ekonomi, termasuk distribusi komoditas pangan.
Kita pasti pernah mendengar bahwa salah satu alasan pemerintah
menaikkan harga BBM adalah demi menyelamatkan fiskal. Salah satu argument yang
berkembang di masyarakat adalah tidak mungkin pemerintah terus-terusan
menanggung subsidi minyak yang setiap tahun mencapai 200 triliun padahal minyak
bersubsidi itu hanya dinikmati golongan masyarakat menengah keatas.
Menteri ESDM Jero Wacik pernah mengungkapkan pemerintah telah
mengajukan dua opsi, yakni kenaikan Rp1.500 per liter dan subsidi ditetapkan
sebesar Rp2.000 per liter dan pembatasan BBM. Meskipun pemerintah lebih condong
pada kenaikan BBM, fungsipembatasan akan tetap berlaku dan berjalan. Kalau
rencana pemerintah ini disetujui DPR dengan pengesahan APBN-P 2012, pemerintah
juga berjanji akan memberikan kompensasi kepada masyarakat. Kompensasi ini
dalam berbagai bentuk seperti lebih sering membagikan BLT, beras miskin,
beasiswa, serta kompensasi transportasi berupa pemberian voucher gratis angkot
atau bis sekolah. Pertanyaannya saat ini adalah bagaimana proses monitoring
yang akan dilakukan pemerintah sendiri terkait kebijakan kompensasi yang akan
diberlakukan apabila kenaikan harga BBM ini telah disetujui DPR? Karena sampai
saat ini masih dapat kita lihat bahwa banyak kebijakan pemerintah seperti BLT
ini yang belum benar-benar bisa optimal dan bermanfaat untuk masyarakat banyak.
Kita sering melihat data statistik di televisi ataupun media
cetak yang menunjukkan fakta mencengangkan bahwa 40 % Belanja APBN habis
digunakan untuk belanja pegawai. Pertumbuhan untuk pos belanja pegawai itu
sesungguhnya sangatlah fantastis, yaitu menembus 22,5 persen setiap tahunnya.
Padahal pertumbuhan total belanja negara hanya sekitar 13% tiap tahunnya.
Intinya sebenarnya sebagian besar anggaran kita habis untuk biaya birokrasi,
bukan pembangunan ataupun pelayanan masyarakat. Padahal pelayanan publik di
lembaga pemerintahan Indonesia masih belum bisa dibilang baik. Kita masih
sering mendengar buruknya wajah pelayanan publik di negeri ini, mulai dari
waktu pelayanan yang lama hingga bentuk pelayanan yang masih dipandang tidak
sesuai seperti yang seharusnya diterima oleh masyarakat.
Ditambah lagi dengan fakta bahwa sampai saat ini kebocoran
anggaran pemerintah belumlah bisa disiasati dengan maksimal karena tingkat
korupsi atau penyalahgunaan uang negara masihlah bisa dibilang sangat tinggi. Jadi
realita yang berkembang saat ini di masyarakat sungguh sangat memprihatinkan.
Di satu sisi masyarakat sebenarnya paham akan kemungkinan naiknya harga BBM
karena melihat beban APBN pemerintah akibat adanya subsidi yang sangat tinggi.
Namun disisi lain masyarakat terang-terangan menunjukkan kekecewaannya terhadap
pengelolaan uang negara oleh pemerintah dikarenakan sangat tingginya tingkat
korupsi di berbagai instansi daerah.
Pemerintah tampaknya juga sangat menyadari akan realitas
sosial yang terjadi di masyarakat itu. Namun tampaknya tidak banyak pilihan
yang bisa diambil pemerintah terkait kebijakan yang akan mereka lakukan
mengenai Bahan Bakar Minyak itu untuk ke depannya. Yang perlu kita sadari
adalah kita sendiri tidak akan bisa mengambil keputusan yang bisa menyenangkan
banyak pihak. Selalu ada pihak yang akan merasa kurang sepakat dengan keputusan
yang kita ambil. Begit juga dengan keputusan pemerintah. Pasti ada beberapa
pihak eksternal maupun internal yang tidak sepakat dengan keputusan yang pemerintah
ambil. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah mampu mensiasati banyak
permasalahan yang bergejolak di tengah masyarakat saja serta bagaimana
pemerintah mampu mengatasi permasalahan ini dengan lebih arif dan bijaksana
serta menempatkan masyarakat sebagai prioritas utama yang perlu diperhatikan
dalam pengambilan setiap keputusannya saja.
Masalah BBM Yang Dilematis
Opsi Delematis
Berita
utama (headline news) pada berbagai media masa akhir-akhir ini masih berkisar
pada rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Memang, Pasal 14ayat 2 dari
UU APBN-P 2008 telah memberi keluwesan bertindak pemerintah untuk mengambil
langkah ini tanpa lagi harus melalui proses pembahasan APBN-P yang kesekian kalinya,
mengingat harga minyak dunia yang sangat fluktuatif. Di lain pihak, Pasal ini
juga memberi catatan bahwa andai kata keputusannya adalah menaikkan harga BBM
maka jalan yang ditempuh ini harus menjadi opsi terakhir setelah berbagai opsi
alternatif dipertimbangkan secara tuntas. Beberapa opsi alternatif atau yang
komplementer atas kenaikan harga BBM yang dikemukakan (dan seberapa jauh
alternatif tersebut realistis atau tidak) antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama,
Menaikkan
produksi minyak bumi Indonesia. Alternatif ini tidak realistis karena produksi
minyak bumi Indonesia, sebagaimana halnya pada sebagian besar negara produsen
minyak bumi saat ini, telah melewati tingkat puncaknya sehingga cenderung untuk
terus menurun. Jumlah produksi yang pada APBN 2008 dipatok sebesar 1,034 juta
barrel/hari bahkan harus direvisi ke bawah menjadi hanya 927 ribu barrel/hari
pada APBN-P 2008.
Kedua,
Sebagai
anggota OPEC meminta organisasi ini untuk mengupayakan penurunan harga minyak
dunia. Walaupun Indonesia dapat menghimbau sebagai suatu sikap moral suasion,
dari sudut kekuatan ekonomi Indonesia mempunyai pangsa suara yang kecil dan
bahkan ada kemungkinan untuk keluar dari lembaga ini.
Ketiga,
Mensubstitusi
penggunaan minyak tanah rumah tangga dengan gas tabung. Opsi ini juga tidak
akan banyak membantu APBN karena langkah ini lebih banyak tertuju pada
peralihan pola penggunaan energi masyakat daripada sebagai suatu jalan keluar
atas terjadinya ketidakseimbangan keuangan negara.
Keempat,
Mencari
dana pinjaman negara donor untuk membiayai pengeluaran subsisi BBM dan subsidi
listrik yang membengkak. Opsi ini juga kurang realistis, karena para donor, terutama
dari kalangan donor kelompok Bank Dunia dan ADB, cenderung tidak bersedia
memberi pinjaman dengan syarat lunak apabila akan digunakan untuk membiayai
subsidi APBN.
Kelima,
Meminta
Bank Indonesia untuk membiayai defisit APBN (seigniorage). Opsi ini juga sulit
dilaksanakan karena kebijakan ini akan meningkatkan “ekspektasi inflasi” yang
tinggi pada masyarakat yang akan menimbulkan perilaku masyarakat yang lebih
cenderung memegang barang daripada uang sehingga secara nyata akan mewujudkan
tingkat inflasi yang tinggi. Dalam
proses
kebijakan publik, hal ini juga akan tidak mudah dilaksanakan pada keadaan
status Gubernur Bank Indonesia tidak lagi, bersama-sama dengan Menteri
Keuangan, menjadi bagian dari suatu Dewan Moneter.
Keenam,
Meningkatkan
penerimaan negara dari hasil minyak dengan meningkatkan pangsa hasil penjualan
minyak dalam kontrak bagi hasil dengan para perusahaan minyak. Hal ini dapat
dilakukan melalui kemungkinan menurunkan unsur “cost recovery” yang merupakan
faktor pengurang atas hasil penjualan bruto untuk sampai pada hasil penjualan
neto (lihat Diagram I). Opsi ini, walaupun lebih mungkin daripada berbagai opsi
sebelumnya, akan sulit dicapai dalam jangka pendek mengingat akan memerlukan
terjadinya perubahan institusional, misalnya perlunya lagi dibentuk dewan
komisaris untuk mengawasi jalannya “good corporate governance” perusahaan
negara maupun perusahaan minyak bagi hasil asing di bidang minyak.
Ketujuh,
Lebih
menurunkan lagi alokasi APBN untuk lembaga pemerintah. Opsi ini telah ditempuh
sehingga penurunan lebih lanjut dapat menganggu jalannya roda pemerintahan.
Masalah dan solusinya
TERLALU banyak
masalah melanda negeri ini, seperti benang kusut, entah dari mana harus ditarik
solusinya. Bila dikibaskan koran pagi di depan wajah Anda, tampak headline
berita yang seringnya, membuat hati ini kecut. Nyalakan televisi, muncul
wajah-wajah koruptor yang terus mengarang alibi membela diri. Diselingi berita
tentang sekolah rubuh, buruh yang hidup di bawah garis kemiskinan, anak-anak
dan bayi yang kurang gizi, pelecehan terhadap perempuan di ruang publik, dan
seterusnya. Bad news is a good news, benar-benar tersaji setiap hari
di Indonesia.
Salah satu isu yang sedang hangat-hangatnya, adalah isu kenaikan harga BBM. Perspektif umum saya, BBM memang sudah semestinya naik, karena harga minyak dunia memang sedang naik. Saya tidak paham bagaimana perhitungannya, tetapi analisis dangkalnya, bila BBM tidak dinaikkan, untuk menutupi anggaran pembangunan, larinya ke hutang luar negeri.
Tetapi, hati kecil tentu saja berkata, BBM jangan sampai naik. Bila BBM naik, harga-harga kebutuhan pokok pasti akan naik. Tarif angkutan umum, naik. Begitu pula, tarif dasar listrik. Tentu daya beli masyarakat akan turun, berujung pada inflasi yang diperkirakan akan mencapai enam persen. Empat sampai lima juta warga terancam miskin.
Untuk
meredam gejolak sosial pascakenaikan harga BBM April medatang, pemerintah
kembali mengucurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dari semula Rp100 ribu,
menjadi Rp150 ribu. Menurut Menteri Sosial Salim Segaf Aljufri, cara ini adalah
efektif untuk meredam gejolak sosial pascakenaikan harga BBM. Katanya, tidak
ada cara lain dan yang paling efektif hanyalah uang.
Tidaklah mudah memang, membuat kebijakan untuk sekira 250 juta orang yang mayoritas hidup di bawah garis kemiskinan. Belum lagi, kebijakan untuk menanggulangi kenaikan BBM harus segera diambil. Hingga muncul pertanyaan, akan tepatkah kebijakan yang diambil? Atau justru makin bertambah masyarakat miskin secara jumlah? Indonesia sangat jauh dalam mencapai konsepsi welfare state.
Ambil contoh, kebijakan BLT yang sudah saya singgung sedikit di atas. BLT sangat tidak mencerdaskan masyarakat. Meskipun, bagi masyarakat toh bukan itu masalah pokoknya. Masalahnya bagi masyarakat, BLT yang hanya Rp150 ribu, tidak akan membantu menutupi kebutuhan sehari-sehari.
Kemudian, yang tidak kalah krusial, adalah pendistribusian. BLT untuk warga miskin. Standar miskin apa yang dipakai? Siapa yang bisa dikatakan miskin? Apakah kita bicara tentang kemiskinan absolut atau relatif? Banyak masyarakat yang kualitas hidupnya masih jauh dari baik, tapi belum bisa dikatakan miskin karena kategori tertentu.
Mengapa
BLT saya anggap tidak mencerdaskan? Karena masyarakat jadi diinternalisasikan
untuk mendapat solusi yang instan pascakenaikan harga BBM. Masyarakat tidak
dirangsang untuk mandiri secara ekonomi. Usaha-usaha domestik jika berkembang
akan menyerap banyak tenaga kerja, menghasilkan produk yang inovatif, dan tentu
saja akan mendongkrak perekonomian nasional.
Masyarakat
hanya diberi uang tunai untuk mencukupi kebutuhan (itu juga sebenarnya tidak
cukup). Jangankan untuk mengembangkan usaha, yang terpikir adalah bagaimana
harus makan hari ini. Seharusnya program pemerintah harus memacu masyarakat
untuk kreatif menghidupi dirinya sendiri.
Menyikapi
isu kenaikan BBM seperti dalam situasi serba salah. BBM harus naik dan
kebijakan pascakenaikan harus seiring dijalankan untuk meredam gejolak sosial
yang pasti terjadi. Pertanyaan setiap orang sama, akankah kebijakan ini akan
sedikit demi sedikit membawa rakyat Indonesia menjadi sejahtera? Secara teori,
untuk memetakan aspirasi menjadi sebuah kebijakan, butuh proses.
PENUTUP
Kesimpulan
Sebagai
warga Negara Indonesia terutama kaum pemuda-pemudi sebagai generasi penerus
bangsa, seharusnya kita bangga dengan Negara Indonesia karena maju atau
tidaknya Indonesia ada ditangan kita. Kita sebagai ujung tombak negara
diharuskan untuk menjadikan negara yang lebih baik dimasa yang akan datang.
Indonesia tidaklah seburuk yang dibayangkan, banyak sekali hal-hal yang harus
dibanggakan oleh Negara ini. Walaupun masih banyak kekurangan dari Negara ini,
kita tidak seharusnya menjelek-jelekkannya tapi kita bahu-membahu memperbaiki
Negara ini.