Zuhud dan Ketenangan Hidup
Ketenangan
hidup di dunia adalah dambaan setiap orang. Akan tetapi betapa banyak manusia
yang hidupnya penuh dengan kegelisahan, gundah gulana, kecemasan, ketakutan,
adanya kebencian dengan orang lain, dan keadaan lainnya yang tidak
diinginkannya.
Di antara
hal terbesar untuk mendapatkan ketenangan hidup adalah ketika kita hidup di
tengah-tengah manusia dalam keadaan dicintai Allah dan juga dicintai manusia.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan kepada kita suatu amalan yang
akan mendatangkan kecintaan Allah dan juga kecintaan manusia kepada kita.
Dari Abul ‘Abbas Sahl bin Sa’d
As-Sa’idiy radhiyallahu ‘anhu berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى
الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، دُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ إِذَا
عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ، فَقَالَ: اِزْهَدْ فِي
الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبَّكَ
النَّاسُ
“Datang seseorang kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu dia berkata, ‘Ya Rasulullah, tunjukkan
kepadaku akan suatu amalan yang apabila aku mengerjakannya niscaya aku dicintai
oleh Allah dan dicintai manusia?’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap
apa-apa yang dimiliki oleh manusia niscaya manusia mencintaimu’.” (Shahih, HR.
Ibnu Majah dan selainnya, lihat Shahiihul Jaami’ no.935 dan Ash-Shahiihah
no.942)
Definisi Zuhud, Hakikat dan Pembagiannya
Zuhud
secara bahasa artinya lawan dari cinta dan semangat terhadap dunia.
Berkata
Ibnul Qayyim, “Zuhud terhadap sesuatu di dalam bahasa Arab �yang merupakan bahasa Islam- mengandung arti
berpaling darinya dengan meremehkan dan merendahkan keadaannya karena sudah
merasa cukup dengan sesuatu yang lebih baik darinya.”
Beliau juga berkata, “Saya mendengar
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, ‘Zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang
tidak bermanfaat di akhirat, adapun wara’ adalah meninggalkan apa-apa yang
ditakuti akan bahayanya di akhirat’.”
Kemudian beliau mengomentarinya,
“Ini adalah definisi yang paling baik terhadap makna zuhud dan wara’ dan yang
paling mencakupnya.”
Berkata Sufyan Ats-Tsauriy, “Zuhud
terhadap dunia adalah pendek angan-angan, dan bukanlah yang dimaksud zuhud itu
dengan memakan makanan yang keras dan memakai karung.”
Berkata Az-Zuhriy, “Zuhud adalah
hendaklah seseorang tidaklah lemah dan mengurangi syukurnya terhadap rizki yang
halal yang telah Allah berikan kepadanya dan janganlah dia mengurangi
kesabarannya dalam meninggalkan yang haram.”
Berkata Al-Hasan dan lainnya,
“Tidaklah zuhud terhadap dunia itu dengan mengharamkan yang halal dan tidak
pula dengan menyia-nyiakan dan membuang harta, akan tetapi hendaklah engkau
lebih tsiqah (mempercayai) terhadap apa-apa yang ada di sisi Allah daripada
apa-apa yang ada di sisimu, dan hendaklah engkau �apabila ditimpa musibah- lebih mencintai pahala dari musibah
tersebut daripada engkau tidak tertimpa musibah.”
Kesimpulannya
bahwasanya hakikat zuhud yang ada di dalam hati adalah dengan mengeluarkan kecintaan
dan semangat terhadap dunia dari hati seorang hamba, sehingga jadilah dunia itu
hanya di tangannya sedangkan kecintaan Allah dan negeri akhirat ada di dalam
hatinya.
Subhaanallaah, betapa nikmatnya
apabila seseorang sudah mempunyai sifat zuhud seperti ini. Dunia/harta yang
dimilikinya hanya sekedar lewat di tangannya tidak sampai ke hatinya (hatinya
tidak menjadi terikat dengannya), dia salurkan harta tersebut di jalan Allah,
dia infaqkan kepada orang yang membutuhkannya, ibaratnya kran yang mengalirkan
air untuk orang lain. Sedangkan hatinya tetap terikat dengan kecintaan kepada
Allah dan akhirat.
Tidaklah banyaknya harta menjadikan
dia bangga dan senang, akan tetapi ketaatan kepada Allah-lah yang menjadi tolak
ukurnya. Banyak sedikitnya harta bagi orang yang zuhud sama saja.
Ketika ada seseorang bertanya kepada
Al-Imam Ahmad, “Apakah orang kaya bisa menjadi orang yang zuhud?” Beliau
menjawab, “Ya, dengan syarat ketika banyak hartanya tidak menjadikannya bangga
dan ketika luput darinya dunia dia tidak bersedih hati.”
Beliau membagi zuhud menjadi tiga
tingkatan:
1.
Meninggalkan yang haram, yang merupakan zuhudnya orang-orang ‘awwam, dan ini
adalah fardhu ‘ain.
2.
Meninggalkan kelebihan-kelebihan dari yang halal, dan ini zuhudnya orang-orang
yang khusus.
3.
Meninggalkan apa-apa yang dapat menyibukkannya dari (mengingat) Allah, dan ini
adalah zuhudnya orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang Allah.
Jangan Salah Faham Tentang Zuhud
Bukanlah makna zuhud itu menolak
dunia secara keseluruhan dan meninggalkannya, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin orang-orang yang zuhud mempunyai sembilan
orang istri; Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman ‘alaihimas salaam dua nabi yang
zuhud, keduanya mempunyai kerajaan sebagaimana yang Allah sebutkan dalam
Al-Qur`an, demikian juga para shahabat radhiyallaahu ‘anhum yang merupakan
orang-orang yang zuhud, mereka pun mempunyai harta, istri dan anak-anak, dan
hal ini telah dikenal oleh kita semua.
Karena zuhud itu adalah meninggalkan
apa-apa yang tidak bermanfaat di akhirat, adapun hal-hal yang bermanfaat
seperti menikah, mencari nafkah dan lainnya maka ini semua tidaklah mengurangi
zuhudnya selama hatinya tetap terikat dengan akhirat.
Cinta Akhirat Harus Zuhud terhadap Dunia
Pertanyaan
yang diajukan oleh orang ini yang terdapat dalam hadits di atas tidak diragukan
lagi adalah suatu pertanyaan yang mempunyai tujuan yang tinggi, yang akan
mendatangkan kecintaan Allah dan kecintaan manusia kepadanya. Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dengan sabdanya, “Zuhudlah terhadap
dunia” yakni tinggalkanlah apa-apa yang ada di dunia yang tidak akan memberikan
manfaat kepadamu di akhirat. Dan hal ini jelas mengandung konsekuensi akan
adanya kecintaan terhadap akhirat. Karena sesungguhnya dunia dan akhirat adalah
dua hal yang saling berlawanan, apabila seseorang zuhud kepada salah satunya
maka berarti dia cinta kepada yang lainnya, yakni apabila dia zuhud kepada
dunia maka dia cinta kepada akhirat. Sebaliknya kalau tamak kepada dunia berarti
tidak cinta kepada akhirat.
Zuhud itu
mengharuskan seseorang bersungguh-sungguh dalam mengerjakan amalan-amalan
akhirat dari mengerjakan perintah-perintah dan
meninggalkan larangan-larangan serta meninggalkan apa-apa yang tidak akan
memberikan manfaat kepadanya di akhirat dari perkara-perkara yang hanya akan
menghabiskan waktunya saja dan tidak mengandung manfaat sedikit pun.
Zuhud terhadap yang Dimiliki Manusia
Adapun amalan yang menyebabkan
adanya kecintaan manusia, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan, “Hendaklah engkau zuhud terhadap apa-apa yang dimiliki oleh
manusia.” Yaitu hendaklah kita tidak meminta sesuatu pun kepada manusia �kecuali kalau memang butuh dan
terpaksa- dan janganlah memperlihatkan kerinduan/keinginan kita terhadap yang
dimiliki manusia, serta janganlah kita mengangkat pandangan (ta’ajjub) terhadap
yang dimiliki manusia. Jika demikian keadaannya yaitu kita menjadi orang yang
jauh dari keinginan terhadap yang dimiliki manusia maka ketika itu kita akan
dicintai manusia.
Karena manusia itu apabila ada
seseorang yang meminta sesuatu yang dimilikinya maka hal ini memberatkan dia
dan menjadikan dia merasa tidak suka. Sehingga apabila kita jauh dari hal ini
maka manusia pun akan mencintai kita.
Hakikat Dunia dan Kerendahannya
Di dalam Al-Qur`an banyak sekali
ayat-ayat yang menerangkan akan hakikat dunia, kerendahannya, kefanaannya, dan
hinanya, dan Al-Qur`an juga menerangkan lawannya yaitu negeri akhirat, di mana
akhirat itu kekal dan lebih baik daripada dunia.
Allah berfirman yang artinya,
“Apa yang di sisi kalian akan
lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” [An-Nahl:96]
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah-megah antara kalian serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan
anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. Dan di akhirat (nanti) ada ‘adzab yang keras dan ampunan dari Allah
serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan
yang menipu.” [Al-Hadiid:20]
Pendorong Zuhud
Ada beberapa hal yang akan
menjadikan kita zuhud terhadap dunia, di antaranya:
1. Kuatnya iman hamba dan
menghadirkan diri seolah-olah menyaksikan apa-apa yang di sisi Allah, dan
menyaksikan kedasyatan hari kiamat, inilah yang akan menjadikan hilangnya
kecintaan terhadap dunia dan kenikmatannya dari hati hamba, akhirnya dia pun
berpaling dari kelezatannya dan kesenangannya serta mencukupkan diri dengan
yang sedikit saja darinya.
2. Seorang hamba harus merasakan dan
menyadari bahwasanya dunia itu akan menyibukkan hati dari terikat dengan Allah,
dan akan menjadikan seseorang terlambat dari mencapai tingginya derajat di
akhirat, dan bahwasanya seseorang kelak akan ditanya tentang kenikmatan yang
ada padanya, Allah berfirman yang artinya,
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai
pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).”
[At-Takaatsur:8]
3. Dunia tidak akan didapat oleh
seorang hamba sampai dia bersusah payah dan bersungguh-sungguh untuk
mendapatkannya, dia mengerahkan segenap kemampuannya, tenaganya dan pikirannya,
dan kadang-kadang dia pun mengalami kerendahan ataupun kegagalan dan harus siap
bersaing dengan lainnya. Yang seharusnya dia kerahkan tenaga dan pikirannya
tersebut untuk mencari ilmu agama, berdakwah, berjihad dan beribadah kepada Allah.
Perasaan ini yang dirasakan oleh hamba yang cemerlang hatinya, akan menjadikan
dia bosan terhadap dunia dan beralih kepada sesuatu yang lebih baik dan kekal
yaitu akhirat.
4. Al-Qur`an telah merendahkan dan
menghinakan dunia dan kenikmatannya dan bahwasanya dunia itu sesuatu yang
menipu, bathil, permainan dan sesuatu yang melalaikan. Dan Allah telah mencela
orang yang lebih mengutamakan dunia di atas akhirat. Semua nash/dalil ini baik
yang ada di dalam Al-Qur`an ataupun As-Sunnah, akan menjadikan seorang mukmin
bosan terhadap dunia, dan dia hanya terikat dengan yang kekal yaitu akhirat.
Dari Jabir bin ‘Abdillah bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke pasar dari tempat yang tinggi
sedangkan manusia ada di sekitarnya, lalu beliau melewati seekor bangkai
kambing kacang yang kecil kedua telinganya, kemudian beliau pun mengambilnya
dan memegang telinganya seraya bersabda, “Siapakah di antara kalian yang mau
membelinya dengan satu dirham?” Maka mereka pun menjawab, “Demi Allah,
seandainya hidup, kambing itu pun mempunyai cacat karena kedua telinganya
kecil, maka bagaimana (kami mau membelinya) dalam keadaan kambing itu sudah
menjadi bangkai?! Maka Rasulullah pun bersabda, “Demi Allah, sungguh dunia itu
lebih hina dan rendah di sisi Allah daripada bangkai ini atas kalian.” (HR.
Muslim dalam Kitaabuz Zuhd, lihat Syarhnya 5/814)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda, “Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali
seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelupkan ke laut, maka lihatlah
apa yang dibawa jari tersebut!” (Lihat Shahiihul Jaami’ no.5423)
Faidah-faidah hadits ini:
1. Semangatnya para shahabat
radhiyallaahu ‘anhum untuk bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
terhadap hal-hal yang akan memberikan manfaat kepada mereka.
2. Bahwasanya manusia itu
berdasarkan tabi’atnya senang kalau Allah mencintainya dan manusia pun
mencintainya, dan dia tidak senang kalau Allah murka kepadanya dan manusia pun
membencinya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ini
menjelaskan tentang amalan yang menyebabkan adanya kecintaan Allah dan
kecintaan manusia.
No comments:
Post a Comment