Sejarah Kerajaan Pajang
A.
KERAJAAN PAJANG
2.1
Awal berdirinya Kerajaaan Pajang
Pada abad ke-14 Pajang sudah disebut dalam kitab
Negarakertagama karena dikunjungi oleh Hayam Wuruk dalam perjalanannya
memeriksa bagian Barat. Antara abad ke-11 dan 14 di Jawa Tengah Selatan tidak
ada Kerajaan tetapi Majapahit masih berkuasa sampai kesana. Sementara itu, di
Demak mulai muncul Kerajaan kecil yang didirikan oleh tokoh-tokoh beragama
Islam. Namun, sampai awal abad ke-16 kewibawaan raja Majapahit masih diakui.
Baru pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke-18 para
penulis kronik di Kartasura menulis seluk beluk asal usul raja-raja Mataram
dmana Pajang dilhat sebagai pendahulunya. Pajang sendiri sebagai kelanjutan
dari Pengging pada tahun 1618 yang pernah dihancurkan ibukota dan sawah
ladangnya oleh pasukan-pasukan dari Mataram karena memberontak. Di bekas
kompleks keraton Raja Pajang yang dikubur di Butuh banyak ditemukan sisa-sisa
keramik asal negeri Cina.
Ceritera mengenai sejarah Pajang malah termuat dalam
kitab Babad Banten yang menyebutkan Ki Andayaningrat berputera 2 orang yaitu,
Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara. Meskipun Majapahit ambruk pada tahun 1625,
Pengging dibawah Kebo Kenanga berdaulat terus hingga pertengahan abad ke-16. untuk
menundukkan pengging Raja Demak memanfaatkan jasa Ki Wanapala dan Sunan Kudus,
dengan cara pendahuluan berupa adu kekuatan ngelmu.
Dua tahun kemudian, Kebo Kenanga berhasil dibunuh
sedangkan anak laki-lakinya yaitu Jaka Tingkir kelak mengabdi ke Istana Demak
untuk akhirnya mendirikan Kerajaan Pajang dengan sebutan Adi Wijaya.
2.2 Raja-raja
yang memerintah di Kerajaan Pajang
2.2.1 JAKA
TINGKIR
Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia
dilahirkan, ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir.[1] Kedua ki ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng
Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia.
Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh
memberontak terhadap Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai Ageng Pengging jatuh
sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat
Nyai Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir). Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda
yang gemar bertapa, dan dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki
Panjawi.
Silsilah Jaka Tingkir :
Andayaningrat (tidak diketahui
nasabnya) + Ratu Pembayun (Putri Raja Brawijaya)→ Kebo kenanga (Putra
Andayaningrat)+ Nyai Ageng Pengging→ Mas Karebet/Jaka Tingkir.
Meski dalam Babad Jawa, Adiwijaya lebih
dilukiskan sebagai Raja yang serba lemah, tetapi kenyataannya sebagai ahli
waris Kerajaan Demak ia mampu menguasai pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur
dengan baik. Perpindahan pusat Kerajaan ke pedalaman yang dilanjutkan lagi oleh
Raja Mataram berpengaruh besar atas perkembangan peradaban Jawa pada abad ke-18
dan 19.
Daerah kekuasaan Pajang mencakup di
sebelah Barat Bagelen (lembah Bogowonto) dan Kedu (lembah Progo atas).
Di zaman Adiwijaya memerintah Pajang,
yaitu pada tahun 1578 seorang tokoh pemimpin Wirasaba, yang bernama Wargautama
ditindak oleh pasukan-pasukan kerajaan dari pusat. Berita dari Babad Banyumas
ini menunjukkan masih kuatnya Pajang menjelang akhir pemerintahan Adiwijaya.
Kekuasaan Pajang ke Timur meliputi wilayah Madiun dan disebutkan bahwa Blora
pada tahun 1554 menjadi rebutan antara Pajang dan Mataram.
Ada dugaan bahwa Adiwijaya sebgai raja
islam berhasil dalam diplomasinya sehingga pada tahun 1581, ia diakui oleh
raja-raja kecil yang penting dikawasan Pesisir Jawa Timur. Untuk peresmiannya
pernah diselenggarakan pertemuan bersama di istana Sunan Prapen di Giri, hadir
pada kesempatan itu para Bupati dari Jipang, Wirasaba (Majaagung), Kediri,
Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem,Tuban, dan Pati. Pembicara yang mewakili
tokokh-tokoh Jawa Timur adalah Panji Wirya Krama, Bupati Surabaya. Disebutkan
pula bahwa Arosbaya (Madura Barat) mengakui Adiwijaya sehubunga dengan itu
bupatinya bernama Panembahan Lemah Duwur diangkat menantu Raja Pajang.
2.2.2 ARYA
PANGIRI
Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya Penangsang tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.
Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang. Sejak itu, Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya. Setelah dewasa, Arya Pangiri
dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan
takhta di Pajang. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas
menjadi raja.
Pangeran Benawa yang berhati lembut merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri sedangkan ia sendiri kemudian
menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya Penangsang).
Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang
mendukung Arya Pangiri tersebut adalah penggantinya, yaitu Panembahan Kudus,
atau mungkin Pangeran Kudus
Arya Pangiri menjadi raja Pajang sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan Ngawantipura. Ia
dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Dia
melanggar wasiat mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri atas
orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.
Arya Pangiri juga berlaku tidak adil
terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena kehilangan mata
pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.
2.2.3
PANGERAN BENAWA
Pangeran Benawa adalah raja ketiga Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1586-1587,
bergelar Sultan Prabuwijaya.
Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kesultanan Mataram.
Pangeran Benawa memiliki putri bernama
Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian
melahirkan Sultan Agung, raja terbesar
Mataram.
Selain itu, Pangeran Benawa juga
memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta. Pangeran
Benawa dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya
untuk menyelidiki kesetiaan Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak
iparnya yang menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.
Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden Rangga tidak sengaja membunuh seorang
prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan pulang.
Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.
Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik
takhta disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya Pangiri adipati Demak.
Benawa kemudian menjadi adipati Jipang
Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang
adil dalam memerintah.
Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram. Orang-orang Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata
pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.
Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja
baru di Pajang bergelar Sultan Prabuwijaya.
2.3
BERBAGAI ASPEK PADA KERAJAAN PAJANG
2.3.1
Aspek Sosial Budaya
Pada zaman Pakubuwono I dan Jayanegara
bekerja sama untuk menjadikan Pajang semakin maju dibidang pertanian sehingga
Pajang menjadi lumbung beras pada abad ke-16 sampai abad 17, kerja sama
tersebut saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kehidupan rakyat Pajang
mendapat pengaruh Islamisasi yang cukup kental sehingga masyarakat Pajang
sangat mengamalkan syariat Islam dengan sungguh-sungguh.
2.3.2
Aspek Ekonomi
Pada zaman Paku Buwono 1 (1708) ketika
Ibukota Mataram masih ada di Kartasura, ada kerjasama yang baik antara
Surakarta pusat dengan Jayengrana bupati Surabaya. Pada masa itu seluruh Jawa
Timur kompak dalam mendukung kerjasama antara PakuBuwono 1 dan Jayengrana.
Pajang mengalami kemajuan di bidang
pertanian sehingga menjadi lumbung beras dalam abad ke-16 dan 17. Lokasi pusat
kerajaaan Pajang ada di dataran rendan tempat bertemunya sungai Pepe dan
Dengkeng (ke dua-duanya bermata air di lereng gunung Merapi) dengan bengawan
sala. Irigasi berjalan lancar karena air tanah di sepanjan tahun cukup untuk
mengairi sehingga pertanian di Pajang maju.
Di zaman Kerajaan Demak baru muncul,
Pajang telah mengekspor beras dengan mengangkutnya melalui perniagaan yang
berupa Bengawan Sala. Sejak itu Demak sebagai negara maritim menginginkan
dikuasainya lumbung-lumbung beras di pedalaman yaitu Pajang dan kemudian juga
mataram, supaya dengan cara demikian dapat berbentuk negara ideal agraris
maritim.
2.3.3
Aspek Politik
Arya Penangsang membuat saluran air
melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan dengan Bengawan Solo. Karena
pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di saluran juga mengalami
pasang. Oleh karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama Bengawan Sore.
Sebetulnya Arya Penangsang sudah tidak berhak mengklaim tahta Demak kepada
Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan tersendiri. Akan tetapi
dendamnya kepada putera dan mantu Sultan Trenggono belum pupus. Dia kembali
mengirim pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, mengulangi
keberhasilan pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan tersebut
tidak berhasil.
Dikisahkan Sunan Kalijaga memohon
kepada Sunan Kudus agar para sepuh, Wali sebagai ulama dapat menempatkan diri
sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak.
Biarkanlah Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri.
Dan yang sepuh sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua, ‘Sing
becik ketitik sing ala ketara’. Wali lebih baik mensyi’arkan agama tanpa
menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan oleh ahlinya
masing-masing. Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan
sampai para Wali terpecah belah karena berpihak kepada salah satu
diantara mereka. Apa kata rakyat jelata, jika melihat para Wali ‘udreg-udregan’,
sibuk berkelahi sendiri.
Hampir semua Guru menyampaikan:
“Setelah tidak ada aku nanti, mungkin pentolan-pentolan kelompokku sudah
tidak punya ‘clash of vision’, tetapi mereka tetap punya ‘clash of
minds’, ‘clash of egoes’, mereka merasa bahwa tindakan yang dipilihnya
benar menurut pemahamannya, dan kalian akan melihat banyaknya aliran muncul”.
seandainya Guru masih hidup maka kebenaran dapat ditanyakan dan tidak akan ada
permasalahan. Mereka yang gila kekuasaan menggunakan pemahaman terhadap wasiat
Guru sebagai alat untuk membangun kekuasaan. Yang terjadi bukan perang
berdasarkan perbedaan keyakinan, tetapi perebutan kekuasaan menggunakan
perbedaan pemahaman atau keyakinan sebagai alat yang ampuh.
Dikisahkan Sunan Kudus sebagai Guru
Sultan Hadiwijaya, mengundang Sultan untuk datang ke Kudus untuk mendinginkan
suasana. Pada saat itu terjadi perang mulut antara Arya Penangsang dan Sultan
Hadiwijaya dan mereka saling menghunus keris. Konon Sunan Kudus berteriak:
“Apa-apaan kalian! Penangsang cepat sarungkan senjatamu, dan masalahmu akan
selesai!” Arya Penangsang patuh dan menyarungkan keris ‘Setan Kober’nya.
Setelah pertemuan usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya Penangsang, maksud
Sunan Kudus adalah menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya dan masalah
akan selesai.
Akhirnya Arya Penangsang dengan kuda
‘Gagak Rimang’nya dipancing dengan kuda betina Sutawijaya yang berada di luar
Bengawan Sore atas saran penasehat Ki Gede Pemanahan dan ki Penjawi. Dan, Arya
Penangsang menaiki ‘Gagak Rimang’ yang bersemangat menyeberangi Bengawan
Sore. Begitu berada di luar Bengawan Sore kesaktian Arya Penangsang
berkurang yang akhirnya dia dapat terbunuh. Atas jasanya Ki Penjawi
diberi tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan diberi tanah di Mentaok, Mataram.
Sutawijaya adalah putra Ki Gede Pemanahan dan merupakan putra angkat Sultan
Hadiwijaya sebelum putra kandungnya, Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya
konon dikawinkan dengan putri Sultan sehingga Sutawijaya yang akhirnya
menjadi Sultan Pertama Mataram yang bergelar Panembahan Senopati, anak
keturunannya masih berdarah Raja Majapahit.
2.4
KEMUNDURAN KERAJAAN PAJANG
Sepulang dari perang, Sultan Hadiwijaya
jatuh sakit dan meninggal dunia. Terjadi persaingan antara putra dan
menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya.
Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.
Pemerintahan Arya Pangiri hanya
disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang
terabaikan. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang,
merasa prihatin. Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya
menyerbu Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Sultan
Hadiwijaya, namun Pangeran Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.
Perang antara Pajang melawan Mataram
dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia dikembalikan ke negeri
asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang ketiga.
Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang
menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram.
Yang menjadi bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya. Sutawijaya
sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja pertama bergelar
Panembahan Senopati.
No comments:
Post a Comment