WALISONGO
Walisongo atau
Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 15
dan 16. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan
Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo
adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk
digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di
Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun
peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga
pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara
langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama
adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau
sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga
berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya
lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Saat itu, majelis dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra’il (dari Champa), Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syekh Subakir.
Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Saat itu, majelis dakwah Walisongo beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro (Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra’il (dari Champa), Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syekh Subakir.
Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:
Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu
masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk
manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan,
bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke
pemerintahan.
1.
Syekh Maulana Malik Ibrahim
Jauh sebelum Maulana Malik Ibrahim
datang ke Pulau Jawa, sebenarnya sudah ada masyarakat Islam di daerah-daerah
pantai utara. Termasuk di desa Leran. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya
makam seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475
Hijriyyah atau pada tahun 1082 M. Maulana Malik Ibrahim yang lebih dikenal
penduduk setempat sebagai Kakek Bantal itu diperkirakan datang ke Gresik pada
tahun 1404 M, beliau berdakwah di Gresik hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun
1419. Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja
dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagian rakyat
Gresik sudah ada yang beragama Islam tapi masih banyak yang beragama Hindu. Atau
bahkan tidak beragama sama sekali. Dalam berdakwah Kakek Bantal menggunakan
cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan ajaran Al Qur’an yaitu:
“Hendaknya engkau ajak ke jalan Tuhanmu dengan himah (kebijaksanaan) dan dengan
petunjuk-petunjuk yang baik serta ajaklah mereka berdialog (bertukar pikiran) dengan
cara yang sebaik-baiknya’’(QS An Nahl: 125). Ada yang menyebutkan bahwa beliau
berasal dari Turki dan pernah mengembara di Gujarat sehingga beliau cukup
berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di Pulau Jawa. Gujarat adalah
wilayah negeri India yang kebanyakan penduduknya beragama Hindu.
Di Jawa, Kakek Bantal bukan hanya
berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan juga harus bersabar terhadap
mereka yang tak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat,
juga meluruskan iman dari orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan
musyrik. Caranya: beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang salah
itu melainkan mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan
dan ketinggian akhlak Islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad saw. Dari
huruf-huruf Arab yang terdapat di batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh
Maulana Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang
dihormati para pangeran dan para sultan ahli tata negara yang ulung. Hal itu
menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat, bukan hanya
pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir
miskin. Keterangan yang tertulis di makamnya ialah sebagai berikut: “Inilah
makam Almarhum Almaghfur yang berharap rahmat Tuhan kebanggaan para Pangeran,
sendi para Sultan dan para Menteri, penolong para fakir miskin, yang berbahagia
lagi syahid, cemerlangnya symbol negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal
dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan RahmatNYA dan keridhaanNYA, dan
dimasukkan ke dalam surga. Telah wafat pada hari Senin 12 Rabiul Awwal tahun
822 H” Menurut literatur yang ada, beliau juga ahli pertanian dan ahli
pengobatan. Sejak beliau berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik
meningkat tajam. Dan orang-orang sakit banyak yang disembuhkannya dengan
daun-daunan tertentu. Sifatnya lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada
semua orang, baik sesama muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal
sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik
itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong
masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang setia. Sebagai
misal, bila beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam
sekali, beliau tidak menerangkan Islam secara “njlimet”. Kaum bawah tersebut
dibimbing untuk bisa mengolah tanah agar sawah dan ladang mereka dapat dipanen
lebih banyak lagi. Sesudah itu mereka dianjurkan bersyukur kepada Yang Memberikan
Rezeki, yaitu Allah swt.
Di kalangan rakyat jelata Syekh
Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari kalangan kasta rendah.
Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi masyarakat menjadi empat kasta; Kasta
Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut kasta Sudra
adalah yang paling rendah dan sering ditindas oleh kasta-kasta yang jauh lebih
tinggi. Maka ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seseorang
di dalam Islam, orang-orang Sudra dan Waisya banyak yang tertarik. Syekh
Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua manusia sama
sederajat. Orang Sudra boleh saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas,
tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Allah semua manusia adalah sama, yang paling
mulia di antara mereka hanyalah yang paling takwa kepadaNYA. Takwa itu letaknya
di hati, hati yang mengendalikan segala gerak kehidupan manusia untuk berusaha
sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala
laranganNYA. Dengan takwa itulah manusia akan hidup berbahagia di dunia hingga
di akhirat kelak. Orang bertakwa sekalipun dia dari kasta Sudra bisa lebih
mulia daripada mereka yang berkasta Ksatria dan Brahmana. Mendengar keterangan ini,
mereka yang berasal dari kasta Sudra dan Waisya merasa lega, mereka merasa
dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia utuh sehingga wajarlah bila
mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka cita. Setelah
pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk beribadah
bersama-sama dan mengaji. Dalam membangun masjid ini beliau mendapat bantuan
yang tidak sedikit dari Raja Carmain. Pendirian Pesantren yang pertama kali di
Nusantara itu diilhami oleh kebiasaan masyarakat Hindu yaitu para Bikhu dan
Pendeta Brahmana yang mendidik cantrik dan calon pemimpin agama di
mandala-mandala mereka. Inilah salah satu strategi para Wali yang cukup jitu;
orang Budha dan Hindu yang mendirikan mandala-mandala untuk mendidik kader
tidak dimusuhi secara frontal, melainkan beliau-beliau itu mendirikan bentuk
Pesantren yang mirip mandala-mandala milik kelompok Hindu dan Budha tersebut
untuk menjaring ummat. Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari pesantren
Gresik kemudian muncul para mubaligh yang menyebar ke seluruh Nusantara. Bila
orang bertanya sesuatu masalah agama kepada beliau maka beliau tidak menjawab
dengan berbelit-belit melainkan dijawabnya dengan mudah dan gamblang sesuai
dengan pesan Nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah, tidak
dipersulit, ummat harus dibuat gembira, tidak ditakut-takuti. Seperti tersebut
dalam buku History of Java karangan Sir Stamford Raffles; pada suatu hari Syekh
Maulana Malik Ibrahim ditanya;”Apakah yang dinamakan Allah itu?” Beliau tidak
menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang memberi pahala sorga bagi hambaNYA
yang berbakti dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba yang membangkang
kepadaNYA. Jawabannya cukup singkat dan jelas, yaitu,”Allah adalah Zat yang
diperlukan adaNYA”. Dua tahun sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di
Gresik, beliau tidak hanya membimbing ummat untuk mengenal dan mendalami agama
Islam, melainkan juga memberi pengarahan agar tingkat kehidupan masyarakat
Gresik menjadi lebih baik. Beliau pula yang mempunyai gagasan mengalirkan air
dari gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk. Dengan adanya sistem
pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi subur dan hasil panen bertambah
banyak, para petani menjadi makmur dan mereka dapat mengerjakan ibadah dengan
tenang. Andaikata Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan
meningkatkan taraf hidup rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah
dengan baik dan tenang. Sebagaimana sabda nabi bahwa kefakiran menjurus pada
kekafiran. Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jika sehari-hari
disibukkan dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep yang harus ditiru. Tamu dari
Negeri Cermain
Ada ganjalan di hati Syekh Maulana Malik Ibrahim. Dia telah berhasil mengislamkan sebagian besar rakyat Gresik. Gresik adalah bagian dari wilayah Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk Islam sementara Raja Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama Hindu apakah di belakang hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya. Untuk menghindari hal itu muka Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak Raja Brawijaya untuk masuk agama Islam. Hal itu diutarakan kepada sahabatnya yaitu Raja Cermain. Ternyata Raja Cermain juga mempunyai maksud serupa. Sudah lama Raja Cermain ingin mengajak Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Pada tahun 1321 Masehi Raja Cermain datang ke Gresik disertai putrinya yang cantik rupawan. Putri Raja Cermain itu bernama Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut adalah untuk memberikan bimbingan kepada para putri istana Majapahit mengenal agama Islam. Bersama Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari negeri Cermain itu menghadap Prabu Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya bersikeras mempertahankan agama lama dengan ucapan yang diplomatis. Bahwa dia bersedia masuk Islam bila Dewi Sari bersedia dipersuntingnya sebagai istri. Dewi Sari menolak. Tidak ada gunanya masuk Islam bila ditunggangi dengan kepentingan duniawi. Beragama seperti itu hanya akan merusak keagungan agama Islam. Rombongan dari negeri Cermain lalu kembali ke Gresik. Mereka beristirahat di Leran sembari menunggu selesainya perbaikan kapal untuk berlayar pulang. Sungguh sayang sekali, selama beristirahat di Leran itu banyak anggota rombongan dari negeri Cermain yang diserang wabah penyakit. Banyak di antara mereka yang tewas, termasuk Dewi Sari. Kabar kematian Dewi Sari terdengar ke telinga Prabu Brawijaya. Raja yang memang tertarik dan merasa jatuh cinta kepada Dewi Sari itu kemudian menyempatkan diri beserta ponggawa kerajaan ke Desa Leran. Brawijaya sang Raja Majapahit itu memerintahkan kepada para ponggawa kerajaan untuk menggali kubur dan memakamkan Dewi Sari dengan upacara kebesaran. Di desa Leran itulah Dewi Sari dikuburkan. Setelah rombongan dari negeri Cermain meninggalkan pantai Leran maka Prabu Brawijaya menyerahkan seluruh daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk diperintah sendiri di bawah kedaulatan Majapahit. Penyerahan daerah itu adalah siasat dari sang Raja agar rakyat Gresik yang beragama Islam itu tidak berontak kepada rajanya yang masih beragama Hindu. Amanat raja Majapahit itu diterima Syekh Maulana Malik Ibrahim dengan suka rela. Sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan perdamaian walaupun dengan kafir zimmi yaitu orang-orang yang bukan muslim yang mau hidup berdampingan dengan aman dalam satu negara. Demikianlah sekilas tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim, seorang Wali yang dianggap sebagai ayah dari Walisongo. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H atau 1419 M.
Ada ganjalan di hati Syekh Maulana Malik Ibrahim. Dia telah berhasil mengislamkan sebagian besar rakyat Gresik. Gresik adalah bagian dari wilayah Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk Islam sementara Raja Brawijaya penguasa Majapahit masih beragama Hindu apakah di belakang hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya. Untuk menghindari hal itu muka Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak Raja Brawijaya untuk masuk agama Islam. Hal itu diutarakan kepada sahabatnya yaitu Raja Cermain. Ternyata Raja Cermain juga mempunyai maksud serupa. Sudah lama Raja Cermain ingin mengajak Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Pada tahun 1321 Masehi Raja Cermain datang ke Gresik disertai putrinya yang cantik rupawan. Putri Raja Cermain itu bernama Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut adalah untuk memberikan bimbingan kepada para putri istana Majapahit mengenal agama Islam. Bersama Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari negeri Cermain itu menghadap Prabu Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya bersikeras mempertahankan agama lama dengan ucapan yang diplomatis. Bahwa dia bersedia masuk Islam bila Dewi Sari bersedia dipersuntingnya sebagai istri. Dewi Sari menolak. Tidak ada gunanya masuk Islam bila ditunggangi dengan kepentingan duniawi. Beragama seperti itu hanya akan merusak keagungan agama Islam. Rombongan dari negeri Cermain lalu kembali ke Gresik. Mereka beristirahat di Leran sembari menunggu selesainya perbaikan kapal untuk berlayar pulang. Sungguh sayang sekali, selama beristirahat di Leran itu banyak anggota rombongan dari negeri Cermain yang diserang wabah penyakit. Banyak di antara mereka yang tewas, termasuk Dewi Sari. Kabar kematian Dewi Sari terdengar ke telinga Prabu Brawijaya. Raja yang memang tertarik dan merasa jatuh cinta kepada Dewi Sari itu kemudian menyempatkan diri beserta ponggawa kerajaan ke Desa Leran. Brawijaya sang Raja Majapahit itu memerintahkan kepada para ponggawa kerajaan untuk menggali kubur dan memakamkan Dewi Sari dengan upacara kebesaran. Di desa Leran itulah Dewi Sari dikuburkan. Setelah rombongan dari negeri Cermain meninggalkan pantai Leran maka Prabu Brawijaya menyerahkan seluruh daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk diperintah sendiri di bawah kedaulatan Majapahit. Penyerahan daerah itu adalah siasat dari sang Raja agar rakyat Gresik yang beragama Islam itu tidak berontak kepada rajanya yang masih beragama Hindu. Amanat raja Majapahit itu diterima Syekh Maulana Malik Ibrahim dengan suka rela. Sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan perdamaian walaupun dengan kafir zimmi yaitu orang-orang yang bukan muslim yang mau hidup berdampingan dengan aman dalam satu negara. Demikianlah sekilas tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim, seorang Wali yang dianggap sebagai ayah dari Walisongo. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H atau 1419 M.
2.
Sunan Ampel
Samarqand dikenal sebagai daerah
Islam yang menelorkan ulama-ulama besar seperti sarjana hadits terkenal yaitu
Imam Bukhari yang mashur sebagai pewaris hadits sahih. Di Samarqand ini ada
seorang ulama besar bernama Syekh Jamalluddin Jumail Kubra, seorang Ahlussunnah
bermahzab Syafi’i, beliau mempunyai seorang putra bernama Ibrahim. Karena
berasal dari Samarqand maka Ibrahim kemudian mendapat tambahan Samarqandi.
Orang Jawa sangat sukar mengucapkan Samarqandi maka mereka hanya menyebutnya
sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi. Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah
oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra untuk berdakwah ke
negara-negara Asia. Perintah ini dilaksanakan, dan beliau kemudian diambil
menantu oleh raja Cempa, dijodohkan dengan putri raja Cempa yang bernama Dewi
Candrawulan. Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di
Muangthai (Thailand). Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim
Asmarakandi mendapat dua orang putra yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid
Ali Murtadho. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati
diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian keduanya adalah
keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra bangsawan atau pangeran kerajaan.
Para Pangeran atau bangsawan kerajaan pada waktu itu mendapat gelar Rahadian
yang artinya Tuanku, dalam proses selanjutnya sebutan ini cukup dipersingkat
Raden. Raja Majapahit sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa yang
wajahnya dan kepribadiannya sangat memikat hati. Sehingga istri-istri lainnya
diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar di
seluruh Nusantara. Salah satu contoh adalah istri yang bernama Dewi Kian,
seorang putri Cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang. Ketika
Dewi Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang hamil tiga
bulan. Ario Damar tidak diperkenankan menggauli putri Cina itu sampai si jabang
bayi terlahir ke dunia. Bayi dari rahim Dewi Kian itulah yang nantinya bernama
Raden Hasan atau lebih dikenal dengan nama Raden Patah, salah seorang murid Sunan
Ampel yang menjadi raja di Demak Bintoro. Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal
Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk mengalami kemunduran drastis.
Kerajaan terpecah belah karena terjadinya perang saudara, dan para adipati
banyak yang tak loyal lagi kepada keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu
Brawijaya. Pajak dan upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke istana Majapahit.
Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat Prabu
bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan
dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta mabuk-mabukan.
Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu diteruskan negara akan
menjadi lemah dan jika negara sudah kehilangan kekuatan betapa mudahnya bagi
musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.
Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu
Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya. Dengan memberanikan diri dia
mengajukan pendapat kepada suaminya. Maka pada suatu hari diberangkatkanlah
utusan dari Majapahit ke negri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah
datang ke Majapahit. Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh Raja
Cempa, dan raja Cempa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk
meluaskan pengalaman. Keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tahan Jawa tidak
sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan kakaknya sebagaimana disebutkan di atas.
Ayah Sayyid Ali Rahmat adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya
bernama Sayyid Ali Murtadho. Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit,
melainkan mendarat di Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa Gesikharjo,
Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau
dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk kecamatan Palang Kabupaten
Tuban. Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berdakwah
keliling ke daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Di sana beliau
mendapat sebutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat
sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah
meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan
Ratu Dwarawati. Kapal layar yang ditumpanginya mendarat di Pelabuhan Canggu.
Kedatangannya disambut dengan suka cita oleh Prabu Kertabumi. Lebih lebih lagi
Ratu Dwarawati bibinya sendiri, wanita itu memeluknya erat erat seolah sedang
memeluk kakak perempuannya yang berada di istana Kerjaan Cempa. Wajah
keponakannya itu memang mirip dengan kakak perempuannya. “Nanda Rahmatullah,
bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum bangsawan dan rakyat
Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia?” tanya sang Prabu setelah Sayyid
Rahmatullah beristirahat melepas lelah. Dengan sikapnya yang sopan santun tutur
kata yang halus Sayyid Ali Rahmatullah menjawab,”Dengan senang hati Gusti
Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya
mendidik mereka”. “Bagus!” sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi
hadiah sebidang tanah berikut bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan
mendidik para bangsawan dan pageran Majapahit agar berbudi pekerti mulia”. “Terima
kasih saya haturkan Gusti Prabu”,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah. Disebutkan
dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari
di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah putri Majapahit yang bernama
Dewi Candrowati atau Nyai Ageng Manila. Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah
adalah salah seorang Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu raja
Majapahit. Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya, maka
beliau adalah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran.
Para pangeran pada jaman dulu ditandai dengan nama depan Rahadian atau Raden
yang berarti Tuanku. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden
Rahmat. Selama dalam perjalanan beliau juga berdakwah kepada penduduk setempat
yang dilaluinya. Dakwah yang pertama kali dilakukannya cukup unik. Beliau
membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan
tertentu dan dianyam rotan. Kipas-kipas itu dibagi-bagikan kepada penduduk
setempat secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarkannya dengan kalimah
syahadat. Penduduk yang menerima kipas itu merasa sangat senang. Terlebih
setelah mereka mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang dianyam
bersama rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena penyakit
batuk dan demam. Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan kepada
Raden Rahmat. Pada saat demikianlah ia memperkenalkan keindahan agama Islam sesuai
tingkat pemahaman mereka. Cara itu terus dilakukan hingga rombongan memasuki
desa Kembangkuning. Pada saat itu wilayah desa Kembangkuning belum seluas
sekarang ini. Di sana-sini masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa.
Dengan karomahNYA, Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dan mendirikan
tempat sembahyang sederhana atau langgar. Tempat sembahyang tersebut sekarang
telah dirubah menjadi Masjid yang cukup besar dan bagus, dinamakan sesuai
dengan nama Raden Rahmat yaitu Masjid Rahmat Kembangkuning. Di tempat itu pula
Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu: Ki Wiryo
Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh masyarakat itu bersama keluarganya masuk
Islam dan menjadi pengikut Raden Rahmat. Dengan adanya kedua tokoh masyarakat
itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat untuk mengadakan pendekatan kepada
masyarakat sekitarnya. Terutama kepada masyarakat yang masih memegang teguh
adat kepercayaan lama. Beliau tidak langsung melarang mereka, melainkan memberi
pengertian sedikit demi sedikit tentang pentingnya ajaran ketauhidan. Jika
mereka sudah mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan Pencipta Alam, maka
secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepercayaan lama yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Setelah sampai di tempat tujuan, pertama kali yang
dilakukannya adalah membangun Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah. Ini
meneladani apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad saw saat pertama kali sampai
di Madinah. Dan karena beliau menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa
daerah tersebut maka kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal
dari kata Susuhunan, artinya Yang dijunjung Tinggi atau panutan masyarakat
setempat. Ada juga yang mengatakan Sunan berasal dari kata Suhu Nan artinya
Guru Besar atau Orang Yang Berilmu Tinggi. Selanjutnya beliau mendirikan
pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit serta siapa
saja yang mau datang berguru kepada beliau. Ajarannya yang terkenal Hasil
didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau Tidak Mau Melakukan
Lima Hal tercela yaitu:
a.
Moh Main atau Tidak Mau Berjudi
b.
Moh Ngombe atau Tidak Mau Minum Arak
atau Bermabuk-mabukan
c.
Moh Maling atau Tidak Mau Mencuri
d.
Moh Madat atau Tidak Mau Menghisap
candu, ganja dan lain-lain
e.
Moh Madon atau Tidak Mau
Berzina/main perempuan yang bukan istrinya
Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden
Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia,
maka ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka
Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk
agama Islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi Raja Budha yang terakhir di
Majapahit. Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah
Surabaya bahkan di seluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak
boleh dipaksa. Raden Rahmat pun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan
dalam beragama. Sesepuh Walisongo Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat,
maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Walisongo, sebagai Mufti atau
pemimpin agama Islam se Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel
sendiri juga menjadi anggota Walisongo, mereka adalah: Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah,
Sunan Kudus, Sunan Gunungjati. Raden Patah atau Sunan Kota memang pernah
menjadi anggota Walisongo menggantikan kedudukan salah seorang wali yang
meninggal dunia. Dengan diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali
lain tunduk patuh kepada kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan
peperangan dengan pihak Majapahit.
Para wali yang lebih muda menginginkan agar tahta Majapahit
direbut dalam tempo secepat-cepatnya. Tetapi Sunan Ampel berpendapat bahwa
masalah tahta Majapahit tidak perlu diserang secara langsung, karena kerajaan
besar itu sesungguhnya sudah keropos dari dalam. Tak usah diserang oleh Demak
Bintoro pun sebenarnya Majapahit akan segera runtuh. Para wali yang lebih muda
menganggap Sunan Ampel telah lamban dalam memberikan nasehat kepada Raden
Patah. “Mengapa Ramanda berpendapat demikian?” tanya Raden Patah terhitung
menantunya sendiri. “Karena aku tidak ingin di kemudian hari ada orang menuduh
Raja Demak Bintoro yang masih putra Majapahit Prabu Kertabumi telah berlaku
durhaka yaitu berani menyerang ayahandanya sendiri”, jawab Sunan Ampel dengan
tenang. “Lalu apa yang harus saya lakukan?” “Kau harus sabar menunggu sembari
menyusun kekuatan,” ujar Sunan Ampel. “Tak lama lagi Majapahit akan runtuh dari
dalam. Diserang adipati lain. Pada saat itulah kau berhak merebut hak warismu selaku
putra Prabu Kertabumi”. “Majapahit diserang adipati lain? Apakah saya tidak
berkewajiban membelanya?” “Inilah ketentuan Tuhan,” sahut Sunan Ampel. “Waktu
kejadiannya masih dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu persis kapankah
peristiwa itu akan berlangsung. Yang jelas bukan kau adipati yang menyerang
Majapahit itu”, Sunan Ampel adalah Penasehat Politik Demak Bintoro. Sekaligus
merangkap Pemimpin Walisongo atau Mufti Agama se-Tanah Jawa. Maka fatwanya
dipatuhi banyak orang. Kekuatiran Sunan Ampel tersebut memang terbukti. Di
kemudian hari ternyata ada orang-orang pembenci Islam memutarbalikkan fakta
sejarah. Mereka menuliskan bahwa Majapahit jatuh diserang oleh kerajaan Demak
Bintoro yang Rajanya adalah putra Raja Majapahit sendiri. Dengan demikian Raden
Patah dianggap sebagai Anak Durhaka. Ini dapat anda lihat di dalam Serat Darmo
Gandul maupun sejarah yang ditulis para Sarjana yang membenci Islam. Raden
Patah dan para wali lainnya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan Ampel.
Tibalah saatnya Sunan Ampel wafat pada tahun 1478. Sunan Kalijaga diangkat
sebagai penasehat bagian politik Demak. Sunan Giri diangkat sebagai pengganti
Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para Wali dan pemimpin agama se-Tanah Jawa.
Sesepuh yang selalu dimintai pertimbangannya. Setelah Sunan Giri diangkat
sebagai Mufti sikapnya terhadap Majapahit sekarang berubah. Ia menyetujui usul
Aliran Tuban untuk mencari fatwa kepada Raden Patah agar menyerang Majapahit. Mengapa
Sunan Giri bersikap demikian? Karena pada tahun 1478 Kerajaan Majapahit
diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardhana dari Kadipaten Kediri
atau Keling. Dengan demikian sudah tepatlah jika Sunan Giri menyetujui
penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah tahta kerajaan Majapahit
adalah Raden Patah selaku putera Raja Majapahit yang terakhir. Demak kemudian
bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan dilancarkan, Prabu
Rana Wijaya keburu tewas diserang oleh Prabu Udara pada tahun 1498.
Pada tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa
terancam kedudukannya karena melihat kedudukan Demak yang didukung Sunan Giri
Kedaton semakin kuat dan mapan. Prabu Udara kawatir jika terjadi peperangan
akan menderita kekalahan, maka dia minta bekerjasama dan minta bantuan Portugis
di Malaka. Padahal Putera Mahkota Demak yaitu Pati Unus pada tahun 1511 telah
menyerang Portugis di Malaka. Sejarah mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim
utusan ke Malaka untuk menemui Alfonso d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah
berupa 20 genta (gamelan), sepotong kain panjang bernama Beirami tenunan
Kambayat, 13 batang lembing yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak
salah jika pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta
Majapahit secara tidak sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan Demak.
Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit tentu bangsa Portugis akan
menjajah tanah Jawa jauh lebih cepat daripada bangsa Belanda. Setelah Majapahit
jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak Bintoro. Termasuk Mahkota Rajanya.
Raden Patah diangkat sebagai Raja Demak yang pertama. Sunan Ampel juga turut
membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M. Salah
satu di antara empat tiang utama Masjid Demak hingga sekarang masih diberi nama
sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel. Beliau pula yang pertama kali
menciptakan Huruf Pegon atau Tulisan Arab berbunyi bahasa Jawa. Dengan huruf
pegon ini beliau dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada muridnya. Hingga
sekarang huruf pegon tetap dipakai sebagai bahan pelajaran agama Islam di
kalangan pesantren. Penyelamat Akidah
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat berhati-hati, hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para wali di Masjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel “Apakah tidak mengkawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah.?” Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel,”Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islam. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.” Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah menyelamatkan aqidah ummat agar tidak tergelincir ke lembah musyrik. Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel.
Murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan bangsawan dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Walisongo adalah murid-murid beliau sendiri. Kali ini kami tampilkan dua kisah murid Sunan Ampel yang makamnya tak jauh dari lokasi Sunan Ampel dimakamkan,yaitu: Kisah Mbah Soleh
Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau keistimewaan. Adalah sebuah keajaiban yang tak ada duanya, ada seorang manusia dikubur hingga sembilan kali. Ini bukan cerita buatan melainkan ada buktinya. Di sebelah timur Masjid Agung Sunan Ampel ada sembilan kuburan. Itu bukan kuburan sembilan orang tapi hanya kuburan seorang yaitu murid Sunan Ampel yang bernama Mbah Soleh. Kisahnya demikian, Mbah Soleh adalah tukang sapu masjid Ampel di masa hidupnya Sunan Ampel. Apabila menyapu lantai Masjid sangatlah bersih sekali sehingga orang yang sujud di masjid tanpa sajadah tidak merasa ada debunya. Ketika Mbah Soleh wafat beliau dikubur di depan masjid. Ternyata tidak ada santri yang sanggup mengerjakan pekerjaan Mbah Soleh yaitu menyapu lantai masjid dengan bersih sekali. Maka sejak ditinggal Mbah Soleh masjid itupun lantainya menjadi kotor. Kemudian terucaplah kata-kata Sunan Ampel. “Bila Mbah Soleh masih hidup tentulah masjid ini menjadi bersih”. Mendadak Mbah Soleh ada di pengimaman masjid sedang menyapu lantai. Seluruh lantai pun sekarang menjadi bersih lagi. Orang-orang pada terheran melihat Mbah Soleh hidup lagi. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh wafat lagi dan dikubur disamping kuburannya dulu. Masjid menjadi kotor lagi, lalu terucaplah kata-kata Sunan Ampel seperti dulu. Mbah Soleh pun hidup lagi. Hal ini berlangsung beberapa kali sehingga kuburannya ada delapan. Pada saat kuburan Mbah Soleh ada delapan Sunan Ampel meninggal dunia. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh meninggal dunia, sehingga kuburan Mbah Soleh ada sembilan. Kuburan yang terakhir berada di ujung paling timur. Jika anda sempat berziarah ke makam Sunan Ampel, jangan lupa untuk berdo’a di depan makam Mbah Soleh. Kisah Mbah Sonhaji
Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya? Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-olokan. Beliau adalah salah seorang murid Sunan Ampel yang juga mempunyai karomah. Kisahnya demikian. Pada waktu pembangunan masjid Agung Ampel, Sonhaji lah yang ditugasi mengatur tata letak pengimamannya. Sonhaji bekerja dengan tekun dan penuh perhitungan, jangan sampai letak pengimaman masjid itu tidak menghadap ke arah kiblat. Tapi setelah bangunan pengimaman itu jadi banyak orang yang meragukan keakuratannya. “Apa betul letak pengimaman masjid ini sudah menghadap ke kiblat?” demikian tanya orang yang meragukan pekerjaan Sonhaji. Sonhaji tidak menjawab, melainkan melubangi dinding pengimaman sebelah barat lalu berkata,”Lihatlah ke dalam lubang ini, kalian akan tahu apakah pengimaman ini sudah menghadap kiblat atau belum?” Orang-orang itu segera melihat ke dalam lubang yang dibuat Sonhaji. Ternyata di dalam lubang itu mereka dapat melihat Ka’bah yang berada di Mekah. Orang-orang pada melongo, terkejut, kagum dan akhirnya tak berani meremehkan Sonhaji lagi. Dan sejak saat itu mereka lebih bersikap hormat kepada Sonhaji dan mereka memberinya julukan Mbah Bolong. Dari kisah karomah para wali ataupun para murid wali, seyogyanya menjadi pelajaran bagi mereka yang masih hidup. Ambil contoh, kisah Mbah Soleh di atas, seharusnya mereka yang masih hidup mau meneladani sifat dan sikap Mbah Soleh yang menyukai Masjidnya selalu bersih, karena masjid merupakan tempat yang perlu dijaga kebersihan dan kesuciannya. Begitulah riwayat singkat Sunan Ampel dan 2 orang muridnya. Semoga kisah mereka bisa menjadi pelajaran hidup bagi kita sebagai generasi penerus mereka, dan semoga amal baik mereka mendapat balasan yang baik dari Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
3. Sunan Giri
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat berhati-hati, hal ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para wali di Masjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel “Apakah tidak mengkawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah.?” Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel,”Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna Islam. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.” Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah menyelamatkan aqidah ummat agar tidak tergelincir ke lembah musyrik. Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel.
Murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan bangsawan dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota Walisongo adalah murid-murid beliau sendiri. Kali ini kami tampilkan dua kisah murid Sunan Ampel yang makamnya tak jauh dari lokasi Sunan Ampel dimakamkan,yaitu: Kisah Mbah Soleh
Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau keistimewaan. Adalah sebuah keajaiban yang tak ada duanya, ada seorang manusia dikubur hingga sembilan kali. Ini bukan cerita buatan melainkan ada buktinya. Di sebelah timur Masjid Agung Sunan Ampel ada sembilan kuburan. Itu bukan kuburan sembilan orang tapi hanya kuburan seorang yaitu murid Sunan Ampel yang bernama Mbah Soleh. Kisahnya demikian, Mbah Soleh adalah tukang sapu masjid Ampel di masa hidupnya Sunan Ampel. Apabila menyapu lantai Masjid sangatlah bersih sekali sehingga orang yang sujud di masjid tanpa sajadah tidak merasa ada debunya. Ketika Mbah Soleh wafat beliau dikubur di depan masjid. Ternyata tidak ada santri yang sanggup mengerjakan pekerjaan Mbah Soleh yaitu menyapu lantai masjid dengan bersih sekali. Maka sejak ditinggal Mbah Soleh masjid itupun lantainya menjadi kotor. Kemudian terucaplah kata-kata Sunan Ampel. “Bila Mbah Soleh masih hidup tentulah masjid ini menjadi bersih”. Mendadak Mbah Soleh ada di pengimaman masjid sedang menyapu lantai. Seluruh lantai pun sekarang menjadi bersih lagi. Orang-orang pada terheran melihat Mbah Soleh hidup lagi. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh wafat lagi dan dikubur disamping kuburannya dulu. Masjid menjadi kotor lagi, lalu terucaplah kata-kata Sunan Ampel seperti dulu. Mbah Soleh pun hidup lagi. Hal ini berlangsung beberapa kali sehingga kuburannya ada delapan. Pada saat kuburan Mbah Soleh ada delapan Sunan Ampel meninggal dunia. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh meninggal dunia, sehingga kuburan Mbah Soleh ada sembilan. Kuburan yang terakhir berada di ujung paling timur. Jika anda sempat berziarah ke makam Sunan Ampel, jangan lupa untuk berdo’a di depan makam Mbah Soleh. Kisah Mbah Sonhaji
Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya? Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-olokan. Beliau adalah salah seorang murid Sunan Ampel yang juga mempunyai karomah. Kisahnya demikian. Pada waktu pembangunan masjid Agung Ampel, Sonhaji lah yang ditugasi mengatur tata letak pengimamannya. Sonhaji bekerja dengan tekun dan penuh perhitungan, jangan sampai letak pengimaman masjid itu tidak menghadap ke arah kiblat. Tapi setelah bangunan pengimaman itu jadi banyak orang yang meragukan keakuratannya. “Apa betul letak pengimaman masjid ini sudah menghadap ke kiblat?” demikian tanya orang yang meragukan pekerjaan Sonhaji. Sonhaji tidak menjawab, melainkan melubangi dinding pengimaman sebelah barat lalu berkata,”Lihatlah ke dalam lubang ini, kalian akan tahu apakah pengimaman ini sudah menghadap kiblat atau belum?” Orang-orang itu segera melihat ke dalam lubang yang dibuat Sonhaji. Ternyata di dalam lubang itu mereka dapat melihat Ka’bah yang berada di Mekah. Orang-orang pada melongo, terkejut, kagum dan akhirnya tak berani meremehkan Sonhaji lagi. Dan sejak saat itu mereka lebih bersikap hormat kepada Sonhaji dan mereka memberinya julukan Mbah Bolong. Dari kisah karomah para wali ataupun para murid wali, seyogyanya menjadi pelajaran bagi mereka yang masih hidup. Ambil contoh, kisah Mbah Soleh di atas, seharusnya mereka yang masih hidup mau meneladani sifat dan sikap Mbah Soleh yang menyukai Masjidnya selalu bersih, karena masjid merupakan tempat yang perlu dijaga kebersihan dan kesuciannya. Begitulah riwayat singkat Sunan Ampel dan 2 orang muridnya. Semoga kisah mereka bisa menjadi pelajaran hidup bagi kita sebagai generasi penerus mereka, dan semoga amal baik mereka mendapat balasan yang baik dari Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
3. Sunan Giri
Di awal abad 14 M, Kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu
Menak Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan
Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agama Hindu dan ada sebagian yang memeluk
agama Budha. Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula
permaisurinya, pasalnya putri mereka satu-satunya telah jatuh sakit selama
beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati
tapi sang putri belum juga sembuh. Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan
sedang dilanda pegebluk atau wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan.
Menurut gambaran babad Tanah Jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk
sangat prihatin, berduka cita, dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi
macet total. Atas saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu kemudian mengadakan
sayembara, siapa yang dapat menyembuhkan putrinya akan diambil menantu dan
siapa yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati
atau Raja Muda. Sayembara disebar di hampir pelosok negeri. Sehari, dua hari,
seminggu bahkan berbulan-bulan kemudian tak ada seorang pun yang menyatakan
kesanggupannya untuk mengikuti sayembara itu. Permaisuri makin sedih hatinya,
Prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur istrinya dengan menugaskan Patih Bajul
Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati penyakit putrinya. Diiringi
beberapa prajurit pilihan, Patih Bajul Sengara berangkat melaksanakan tugasnya.
Para pertapa biasanya tinggal di puncak atau di lereng-lereng gunung, maka
kesanalah Patih Bajul Sengara mengajak pengikutnya mencari orang-orang sakti. Patih
Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya yang mengetahui adanya
seorang tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksud adalah Syekh
Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi di negeri
Blambangan.
Patih Bajul Sengara dapat bertemu dengan Syekh Maulana Ishak
yang sedang bertafakkur di sebuah goa. Setelah terjadi negosiasi bahwa Raja dan
rakyat Blambangan mau diajak memeluk agama Islam maka Syekh Maulana Ishak
bersedia datang ke istana Blambangan. Ia memang piawai di bidang ilmu
ketabiban, putri Dewi Sekardadu sembuh setelah diobati. Pegebluk juga lenyap
dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak dikawinkan
dengan Dewi Sekardadu. Diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai
sebagian wilayah Blambangan.Hasutan Sang Patih Tujuh bulan sudah Syekh Maulana
Ishak menjadi adipati baru di Blambangan. Makin hari semakin bertambah banyak
saja penduduk Blambangan yang masuk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara
tak henti-hentinya mempengaruhi sang Prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya.
Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas karena mengetahui hal ini. Patih Bajul
Sengara sendiri tanpa sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teror pada
pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin
Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali kepada agama lama.
Walau kegiatan itu dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi pada akhirnya
Syekh Maulana Ishak mengetahui juga. Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil
tujuh bulan. Syekh Maulana Ishak sadar, bila hal itu diteruskan akan terjadi
pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus
menanggung akibatnya. Maka dia segera berpamit kepada istrinya untuk pergi
meninggalkan Blambangan. Demikianlah, pada tengah malam, dengan hati berat
karena harus meninggalkan istri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana
Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan
besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk
wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak. Tentu saja Patih
kecele, walau seluruh isi istana diobrak-abrik dia tidak menemukan Syekh
Maulana Ishak yang sangat dibencinya.
Dua bulan kemudian dari rahim Dewi Sekardadu lahir bayi
laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya
merasa senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan
itu. Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang. Lain
halnya dengan Patih Bajul Sengara. Dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan
kasih sayang keluarga istana selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut
Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit lagi di
Blambangan. Maka Patih Bajul Sengara bikin ulah lagi. “Bayi itu! Benar gusti
Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencana di kemudian hari. Wabah
penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal di Blambangan ini disebabkan
adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu!” kilah Patih Bajul Sengara
dengan alasan yang dibuat-buat. Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan,
dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu, namun
sang Patih tiada bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan keji akhirnya
sang Prabu terpengaruh juga. Walau demikian tiada tega juga dia memerintahkan
pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia empat
puluh hari akhirnya dimasukkan ke dalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke
samodra. Joko Samodra
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi Selat Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundur pun tak bisa. Nakhoda memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan itu, mungkinkah perahunya membentur batu karang. Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah. Seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga. Nakhoda memerintahkan mengambil peti itu. Diatas perahu peti itu dibuka, semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan rupawan. Nakhoda merasa gembira dapat menyelamatkan jiwa bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang tega membuang bayi itu ke tengah lautan, sungguh orang yang tidak berperi kemanusiaan. Nakhoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Bali. Tapi perahu tak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan diarahkan ke Gresik ternyata perahu itu melaju dengan cepatnya. Di hadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya pemilik kapal Nakhoda berkata sambil membuka peti itu. “Peti inilah yang menyebabkan kami kembali dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,” kata sang Nakhoda. “Bayi…? Bayi siapa ini?”, gunam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti. “Kami menemukannya di tengah samodra, Selat Bali, jawab Nakhoda kapal. Bayi itu kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan seorang anak. Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samodra. Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di Pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam. Pada suatu malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan shalat tahjuud mendoakan murid muridnya dan mendoakan ummat agar selamat di dunia dan akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama. Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada murid itu. Esok harinya, sesudah shalat subuh. Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu. “Siapa di antara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan?” tanya Sunan Ampel. “Saya Kanjeng Sunan…” acung Joko Samodra. Melihat yang mengacungkan tangan Joko Samodra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samodra, kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko Samodra. Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra ditemukan di tengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah Nyai Ageng Pinatih. Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti dengan nama Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada Wali besar yang sangat dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu. Raden Paku Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan. Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba pengetahuan yang lebih tinggi di Negeri Seberang sambil meluaskan pengalaman. “Di negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandungmu yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu di masa yang akan datang”. Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya sejak bayi. Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan di tengah samodra dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya. Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat berdakwah di Blambangan sehingga terpaksa harus meninggalkan istri yang sangat dicintainya. Raden Paku menangis sesenggukan mendengar kisah itu. Bukan menangisi kemalangan dirinya yang telah disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi Selat Bali. Ketika perahu itu berada di tengah-tengah Selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundur pun tak bisa. Nakhoda memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan itu, mungkinkah perahunya membentur batu karang. Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah. Seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga. Nakhoda memerintahkan mengambil peti itu. Diatas perahu peti itu dibuka, semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan rupawan. Nakhoda merasa gembira dapat menyelamatkan jiwa bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang tega membuang bayi itu ke tengah lautan, sungguh orang yang tidak berperi kemanusiaan. Nakhoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Bali. Tapi perahu tak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan diarahkan ke Gresik ternyata perahu itu melaju dengan cepatnya. Di hadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya pemilik kapal Nakhoda berkata sambil membuka peti itu. “Peti inilah yang menyebabkan kami kembali dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,” kata sang Nakhoda. “Bayi…? Bayi siapa ini?”, gunam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti. “Kami menemukannya di tengah samodra, Selat Bali, jawab Nakhoda kapal. Bayi itu kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan seorang anak. Karena bayi itu ditemukan di tengah samodra maka Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samodra. Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samodra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samodra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja di Pesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam. Pada suatu malam, seperti biasa Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan shalat tahjuud mendoakan murid muridnya dan mendoakan ummat agar selamat di dunia dan akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama. Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata, untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada murid itu. Esok harinya, sesudah shalat subuh. Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu. “Siapa di antara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan?” tanya Sunan Ampel. “Saya Kanjeng Sunan…” acung Joko Samodra. Melihat yang mengacungkan tangan Joko Samodra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samodra, kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko Samodra. Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samodra ditemukan di tengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah Nyai Ageng Pinatih. Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan pada Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti dengan nama Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada Wali besar yang sangat dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu. Raden Paku Sewaktu mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putra Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan. Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba pengetahuan yang lebih tinggi di Negeri Seberang sambil meluaskan pengalaman. “Di negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandungmu yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu di masa yang akan datang”. Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya sejak bayi. Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan di tengah samodra dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya. Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat berdakwah di Blambangan sehingga terpaksa harus meninggalkan istri yang sangat dicintainya. Raden Paku menangis sesenggukan mendengar kisah itu. Bukan menangisi kemalangan dirinya yang telah disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Di
negeri Pasai banyak ulama besar dari negara asing yang menetap dan membuka
pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat. Hal ini tidak disia-siakan oleh
Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan
tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama
lainnya. Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai ilmu laduni yaitu
ilmu yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada
bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf
dari ulama Iran, Baghdad dan Gujarat yang banyak menetap di negeri Pasai. Ilmu
yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehiduapn Raden Paku dalam
perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat
tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya pantas dimiliki ulama yang berusia lanjut
dan berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya gelar Syekh Maulana A’inul
Yaqin. Setelah tiga tahun di Pasai, dan masa belajar itu sudah dianggap cukup
oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke tanah Jawa.
Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan kain putih berisi tanah.
“Kelak, bila tiba masanya dirikanlah Pesantren di Gresik, carilah tanah yang
sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau membangun Pesantren”,
demikian pesan ayahnya. Kedua pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya.
Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintah
Makdum Ibrahim berdakwah di daerah Tuban. Sedang Raden Paku diperintah pulang
ke Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih. Membersihkan diri Pada
usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan
ke Pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati.
Nakhoda dapat diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk
pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa
pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar. Tiga
buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan.
Biasanya, sesudah dagangan itu terjual habis di Pulau Banjar maka Abu Hurairah
diperintah membawa barang dagangan dari Pulau Banjar yang sekiranya laku di
Pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas, dan lain-lain. Dengan demikian
keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda. Tapi kali ini tidak, sesudah
kapal merapat di pelabuhan Banjar, Raden Paku membagi-bagikan barang dagangan
dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk setempat. Tentu saja hal ini
membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku.
“Raden …kita pasti akan mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang
dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?” “Jangan kawatir paman”, kata Raden
Paku. “Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar pada saat ini sedang
dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan ibu
sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka. Sudahkah ibu memberikan
hartanya dengan membayar zakat kepada mereka? Saya kira belum, nah sekarang lah
saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri”. “Itu diluar kewenangan
saya Raden”, kata Abu Hurairah. “Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan
apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng dihantam ombak dan badai?” Raden
Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu
Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan.
Tapi sekarang tak ada uang dengan apa dagangan Pulau Banjar akan dibeli. “Paman
tak usah risau”, kata Raden Paku dengan tenangnya “Supaya kapal tidak oleng
isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir”. Memang benar, mereka dapat
berlayar hingga di pantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah
menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk menghadap Nyai
Ageng Pinatih. Dugaan Abu Hurairah memang tepat. Nyai Ageng Pinatih terbakar
amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal itu.
“Sebaiknya ibu lihat dahulu!” pinta Raden Paku. “Sudah jangan banyak bicara,
buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung kita saja!”,
hardik Nyai Ageng Pinatih. Tetapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu,
mereka terkejut. Karung-karung itu isinya berubah menjadi barang-barang
dagangan yang biasa mereka bawa dari Banjar, seperti rotan, damar, kain, dan
emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang barang
dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar. Perkawinan Raden Paku Alkisah,
ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul. Ia mempunyai
sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya. Setiap kali ada
orang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib
celaka. Kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal
dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki
Ageng Bungkul. Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon
itu jatuh mengenai kepala Raden Paku. Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul
mencegat Raden Paku, dan ia berkata,”Kau harus kawin dengan putriku, Dewi
Wardah”. Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang
dapat memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan
putrinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka
peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel. “Tak usah bingung, Ki Ageng Bungkul
itu seorang muslim yang baik. Aku yakin Dewi Wardah juga muslimah yang baik.
Karena hal itu sudah menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak
mengecewakan niat baiknya itu”, demikian kata Sunan Ampel. “Tapi…bukankah saya
hendak menikah dengan putri Kanjeng Sunan yaitu Dewi Murtasiah?”, ujar Raden
Paku. “Tidak mengapa”, kata Sunan Ampel. “Sesudah melangsungkan akad nikah
dengan Dewi Murtasiah selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinanmu dengan
Dewi Wardah”. Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia
menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki
Ageng Bungkul seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat
baik di Surabaya. Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar
antar pulau. Sambil berlayar itu pula beliau menyiarkan agama Islam pada
penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan Nusantara. Lama-lama
kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya. Ia ingin berkonsentrasi
menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok pesantren. Iapun minta izin
kepada ibunya untuk meninggalkan dunia perdagangan. Nyai Ageng Pinatih yang
kaya raya itu tidak keberatan. Andaikata hartanya yang banyak itu dimakan
setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih
Juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan
kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka
wanita itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren. Mulailah
Raden Paku bertafakkur di goa yang sunyi, 40 hari 40 malam, beliau tidak keluar
goa, hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga
sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan Kebomas. Usai bertafakkur
teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di negeri Pasai.
Diapun berjalan berkeliling untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan
tanah yang dibawa dari negeri Pasai. Melalui desa Margonoto, sampailah Raden
Paku di daerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai, iapun
mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah di tempat itu. Ternyata cocok
sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena
tempat itu adalah dataran tinggi atau gunung, maka dinamakan-lah Pesantren
Giri. Giri dalam bahasa Sansekerta artinya gunung. Atas dukungan istri-istri
dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan Ampel, tidak begitu lama, hanya
dalam waktu tiga tahun Pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh Nusantara. Di
muka telah disebutkan, bahwa hanya dalam tempo waktu tiga tahun Sunan Giri
berhasil mengelola Pesantrennya hingga namanya terkenal ke seluruh Nusantara.
Menurut Dr. HJ. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke
negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan di
atas bukit di Gresik, dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari
Sunan-sunan Giri yang ada. Di atas gunung tersebut seharusnya ada istana karena
di kalangan masyarakat dibicarakan adanya Giri Kedaton (kerajaan Giri).
Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura,
Lombok, Makasar, Hitu, dan Ternate. Demikian menurut De Graaf. Menurut Babad
Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir di seluruh
penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain.
Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat
dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia juga
membangun masjid sebagai pusat ibadah dan pembentukkan iman ummatnya. Untuk
para santri yang datang dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas. Di
sekitar bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk
dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah
air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat
aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu melakukannya. Peresmian Masjid
Demak dalam peresmian Masjid Demak, Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka
dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang
beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang. Usul Sunan
Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia itu
haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri. Jika Sunan
Kalijaga mengusulkan peresmian Masjid Demak itu dengan membuka pagelaran wayang
kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah
mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar Masjid Demak diresmikan
pada saat hari Jum’at sembari melaksanakan shalat jamaah Jum’at. Sunan Kalijaga
yang berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelumnya
Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak
bisa disebut sebagai gambar manusia lagi, lebih mirip karikatur seperti bentuk
wayang yang ada sekarang ini. Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu di
hadapan sidang para Wali. Karena tak bisa disebut sebagai gambar manusia maka
akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah.
Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri,
karena itu, Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu.
Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang
Girinata, yang arti sebenarnya adalah Sunan Giri yang menata. Maka perdebatan
tentang peresmian Masjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu akan diawali dengan
shalat Jum’at, kemudian diteruskan dengan pertunjukkan wayang kulit yang
dimainkan oleh ki Dalang Sunan Kalijaga. Jasa-jasa Sunan Giri
Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam meyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau. Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya. Dengan demikian Sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham ahlus sunnah wal jama’ah. Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah Islam yang sesuai ajaran Nabi, tanpa dicampuri kepercayaan atau adat istiadat lama. Di bidang kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain: Jamuran, Cublak Cublak Suweng, Jithungan dan Delikan. Diantara permainan anak-anak yang dicintainya ialah sebagai berikut: Di antara anak-anak yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang lainnya menjadi obyek buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila telah berpegang pada tonggal atau batang pohon yang telah ditentukan lebih dulu. Inilah permainan yang disebut Jelungan. Arti permainan tersebut adalah seseorang yang sudah berpegang teguh kepada agama Islam Tauhid maka ia akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang dilambangkan sebagai pemburu. Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan: “Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan, Dolanane na ing latar, Ngalap padhang padhang gilar-gilar,
Nundung begog hangetikar”. (Malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain di halaman, mengambil di halaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit), Maksud lagu dolanan tersebut ialah: Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan. Para Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata. Pengaruh Sunan Giri ini sangat besar terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah memerlukan pengesahan dari Sunan Giri. Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama hampir 200 tahun. Sesudah Sunan Giri yang pertama meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu:
Jasanya yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam meyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara, baik dilakukannya sendiri sewaktu masih muda sambil berdagang ataupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau. Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya. Dengan demikian Sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham ahlus sunnah wal jama’ah. Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah Islam yang sesuai ajaran Nabi, tanpa dicampuri kepercayaan atau adat istiadat lama. Di bidang kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain: Jamuran, Cublak Cublak Suweng, Jithungan dan Delikan. Diantara permainan anak-anak yang dicintainya ialah sebagai berikut: Di antara anak-anak yang bermain ada yang menjadi pemburu, dan yang lainnya menjadi obyek buruan. Mereka akan selamat dari kejaran pemburu bila telah berpegang pada tonggal atau batang pohon yang telah ditentukan lebih dulu. Inilah permainan yang disebut Jelungan. Arti permainan tersebut adalah seseorang yang sudah berpegang teguh kepada agama Islam Tauhid maka ia akan selamat dari ajakan setan atau iblis yang dilambangkan sebagai pemburu. Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan: “Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan, Dolanane na ing latar, Ngalap padhang padhang gilar-gilar,
Nundung begog hangetikar”. (Malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain di halaman, mengambil di halaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit), Maksud lagu dolanan tersebut ialah: Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, di muka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan. Para Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1442, memerintahkan kerajaan Giri selama kurang lebih dua puluh tahun. Mulai tahun 1487 hingga tahun 1506. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata. Pengaruh Sunan Giri ini sangat besar terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah memerlukan pengesahan dari Sunan Giri. Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama hampir 200 tahun. Sesudah Sunan Giri yang pertama meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu:
a.
Sunan Dalem
b.
Sunan Sedomargi
c.
Sunan Giri Prapen
d.
Sunan Kawis Guwa
e.
Panembahan Ageng Giri
f.
Panembahan Mas Witana Sideng Rana
g.
Pangeran Singonegoro (bukan
keturuanan Sunan Giri)
h.
Pangeran Singosari.
Pangeran Singosari ini berjuang
gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh
VOC dan kapten Jonker. Serbuan ke Giri itu adalah dalam rangka penumpasan
pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo seorang murid dari Pesantren Giri
yang pernah menjungkirbalikkan Kraton Surakarta dan bahkan pernah menjadi Raja
di Kediri. Pemberontakan Trunojoyo itu dilakukan karena tindakan
sewenang-wenang dari Sunan Amangkurat I yang pernah menumpas dan membunuh 6000
ulama Ahlus sunnah wal jama’ah yang dituduh menyebarkan isu ketidakpuasan
rakyat terhadap raja. Padahal itu hanya fitnah dari orang-orang yang menjadi
kaki tangan Sunan Amangkurat I, mereka adalah para pengikut faham Manunggaling
Kawula lan Gusti, faham yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar yang ditentang Walisongo.
Sesudah Pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri
Kedaton. Yang tinggal hanyalah makam-makam dan peninggalan Sunan Giri, yang
dirawat oleh juru kunci makam. Meski demikian kharismanya sebagai ulama besar,
wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa. Itu bisa Anda buktikan dengan
melihat jumlah para peziarah yang tiap hari membanjiri makamnya.
4.
Sunan Bonang
Brahmana dari India Agama Islam yang
menyebar luas di Tanah Jawa cukup menggemparkan masyarakat dari belahan dunia
lain. Termasuk para pendeta Brahmana dari India. Salah seorang Brahmana bernama
Sakyakirti merasa penasaran. Maka bersama beberapa orang muridnya ia berlayar
menuju Pulau Jawa. Dibawanya pula kitab-kitab referensi yang telah dipelajari untuk
dipergunakan berdebat dengan penyebar Agama Islam di Tanah Jawa. “Aku Brahmana
Sakyakirti, akan menantang Sunan Bonang untuk berdebat dan adu kesaktian”, ujar
Brahmana itu sembari berdiri di atas geladak di buritan kapal layar. “Jika dia
kalah maka akan kutebas batang lehernya. Jika dia yang menang aku akan bertekuk
lutut untuk mencium telapak kakinya. Akan kuserahkan jiwa ragaku kepadanya”. Murid-muridnya,
yang selalu berdiri dan mengikutinya dari belakang menjadi saksi atas sumpah
yang diucapkan di tengah samudera. Namun ketika kapal layar yang ditumpanginya
sampai di perairan Tuban, mendadak laut yang tadinya tenang tiba-tiba bergolak
hebat. Angin dari segala penjuru seolah berkumpul jadi satu, menghantam air
laut, sehingga menimbulkan badai setinggi bukit. Dengan kesaktiannya Brahmana
Sakyakirti mencoba menggempur badai yang hendak menerjang kapal layarnya. Satu
dua kali hal itu dapat dilakukannya namun terjangan ombak yang kelima kali
membuat kapal layarnya langsung tenggelam ke dalam laut. Dengan susah payah dia
mencabut beberapa batang balok kayu untuk menyelamatkan diri dan menolong
beberapa orang muridnya agar jangan sampai tenggelam ke dasar samudera. Walaupun
pada akhirnya ia dan para pengikutnya berhasil menyelamatkan diri, namun
kitab-kitab referensi yang hendak dipergunakan untuk berdebat dengan Sunan
Bonang telah tenggelam ke dasar laut. Padahal kitab-kitab itu didapatkannya
dengan susah payah. Cara mempelajarinya pun tidak mudah. Ia harus belajar
bahasa Arab terlebih dahulu, pura-pura masuk Islam dan menjadi murid ulama
besar di negeri Gujarat. Kini, setelah sampai di perairan Laut Jawa, tiba-tiba
kitab-kitab yang tebal itu hilang musnah ditelan air laut. Tapi niatnya untuk
mengadu ilmu dengan Sunan Bonang tak pernah surut. Ia dan murid-muridnya telah
terdampar di tepi pantai yang tak pernah dikenalnya. Ia agak bingung harus
kemana untuk mencari Sunan Bonang. Ia menoleh kesana kemari. Mencari seseorang
untuk dimintai petunjuk jalan. Namun tak terlihat seorang pun di pantai itu. Saat
hampir putus asa, tiba-tiba di kejauhan ia melihat seorang lelaki berjubah
putih sedang berjalan sembari membawa tongkat. Ia dan murid-muridnya segera
berlari menghampiri dan menghentikan lelaki itu. Lelaki berjubah putih itu
menghentikan langkah dan menancapkan tongkatnya ke pasir. “Kisanak, kami datang
dari India hendak mencari seorang ulama besar bernama Sunan Bonang. Dapatkah
Kisanak memberitahu dimana kami bisa bertemu dengannya?” kata sang Brahmana.
“Untuk apa tuan mencari Sunan Bonang?”, tanya lelaki itu. “Akan saya ajak
berdebat tentang masalah keagamaan”, kata sang Brahmana. “Tapi sayang
kitab-kitab yang saya bawa telah tenggelam ke dasar laut. Meski demikian niat
saya tak pernah padam. Masih ada beberapa hal yang dapat saya ingat sebagai
bahan perdebatan”. Tanpa banyak bicara lelaki berjubah putih itu mencabut
tongkatnya yang menancap di pasir, mendadak tersemburlah air dari lubang bekas
tongkat itu menancap, membawa keluar semua kitab yang dibawa sang Brahmana. “Itukah
kitab-kitab tuan yang tenggelam ke dasar laut?” tanya lelaki itu. Sang Brahmana
dan pengikutnya memeriksa kitab-kitab itu. Ternyata benar miliknya sendiri.
Berdebarlah hati sang Brahmana sembari menduga-duga siapa sebenarnya lelaki
berjubah putih itu. Murid-murid sang Brahmana yang sejak tadi sudah kehausan
langsung aja menyerobot air jernih yang memancar itu. Brahmana Sakyakirti
memandangnya dengan rasa kawatir, jangan-jangan muridnya itu akan segera mabok
karena meminum air di tepi laut yang pastilah banyak mengandung garam. “Segar!
Aduh segarnya!”, seru murid-murid sang Brahmana dengan girangnya. Yang lain
segera berebutan untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Brahmana
Sakyakirti tercenung. Bagaimana mungkin air di tepi pantai terasa segar. Ia
mencicipinya sedikit. Memang segar rasanya. Rasa herannya makin menjadi-jadi
terlebih jika berpikir tentang kemampuan lelaki berjubah putih itu dalam
menciptakan lubang air memancar dan mampu menghisap kitab-kitab yang telah
tenggelam ke dasar laut. Pastilah orang berjubah putih itu bukan orang sembarangan.
Ia sudah mengerahkan ilmunya untuk mendeteksi apakah semua itu hanya tipuan
ilmu sihir? Ternyata bukan! Bukan ilmu sihir, tapi kenyataan!. Seribu Brahmana
di India tak mampu melakukan hal ini! Pikir sang Brahmana. Dengan rasa was-was,
takut dan gentar ia menatap wajah orang berjubah putih itu. “Apakah nama daerah
tempat saya terdampar ini?” tanya sang Brahmana dengan hati kebat-kebit. “Tuan
berada di pantai Tuban!” jawab lelaki itu. Serta merta Brahmana dan para
pengikutnya menjatuhkan diri berlutut di hadapan lelaki itu. Mereka sudah dapat
menduga pastilah lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang sendiri. “Bangunlah
untuk apa kau berlutut kepadaku? Bukankah sudah kau ketahui dari kitab-kitab
yang kau pelajari bahwa sangat terlarang bersujud kepada sesama makhluk. Sujud
hanya pantas dipersembahkan kepada Allah Yang Maha Agung!” kata lelaki berjubah
putih yang tak lain memang Sunan Bonang adanya. “Ampun! Ampunilah saya yang
buta ini, tak melihat tingginya gunung di depan mata, ampunkan saya…!”, rintih
sang Brahmana. “lho?” Bukankah kau ingin berdebat denganku juga mau mengadu
kesaktian?”, tukas Sunan Bonang. “Mana saya berani melawan Paduka, tentulah
ombak badai yang menyerang kapal kami juga ciptaan Paduka, kesaktian Paduka tak
terukur tingginya. Ilmu Paduka tak terukur dalamnya”, kata Brahmana Sakyakirti.
“Kau salah, aku tidak mampu menciptakan ombak dan badai”, ujar Sunan Bonang.
“Hanya Allah yang mampu menciptakan dan menggerakkan seluruh makhluk. Allah
melindungi orang yang percaya dan mendekat kepadaNYA, dari segala macam bahaya
dan niat jahat seseorang!” Sang Brahmana merasa malu. Memang kedatangannya
bermaksud jahat. Ingin membunuh Sunan Bonang melalui adu kepandaian dan
kesaktian. Ternyata niatnya tak kesampaian. Apa yang telah dibacanya dalam
kitab-kitab yang telah dipelajari terbukti. Bahwa barangsiapa memusuhi para
waliNYA, maka Allah akan mengumumkan perang kepadanya. Menantnag Sunan Bonang
sama saja dengan menantang Tuhan yang mengasihi Sunan Bonang itu sendiri. Ia
bergidik ngeri saat teringat bagaimana dirinya terombang-ambing diterjang ombak
badai, berarti Tuhan sendiri yang telah memberinya pelajaran supaya
mengurungkan niatnya memusuhi Sunan Bonang. Ia percaya, jika niatnya
dilaksanakan bukan Sunan Bonang yang kalah atau mati tapi dia sendirilah yang
bakal binasa. “Kanjeng Sunan, sudilah menerima saya sebagai murid…”, kata
Brahmana itu kemudian. “Jangan tergesa-gesa”, ujar Sunan Bonang. “Kau harus
mempelajari dan mengenal Islam lebih banyak lagi, lebih lengkap lagi. Sebab apa
yang kau pelajari hanya sebagian-sebagian saja. Jika kau sudah memahami Islam
secara keseluruhan maka kau boleh pilih, tetap memeluk agama lama atau menerima
Islam sebagai agamamu terakhir”. Sekali lagi sang Brahmana merasa malu.
Ternyata Sunan Bonang bersifat arif dan bijaksana, tidak memaksakan kehendak
walau sudah berada di atas angin. Seandainya Sunan Bonang memperbolehkannya
untuk berlutut dia akan bersujud dan menyembah sepasang kakinya. “Bawa semua
kitab-kitabmu, mari isinya kita bahas bersama-sama”, kata Sunan Bonang sembari
melanjutkan langkahnya. Brahmana Sakyakirti dan murid-muridnya segera
mengumpulkan kitab-kitab yang tercecer lalu mengikuti langkah Sunan Bonang. Pada
akhirnya ia dan murid-muridnya rela masuk Islam atas kesadarannya sendiri, dan
menjadi pengikutnya yang setia.
Asal usulnya dari berbagai sumber
disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya Syekh Maulana Makdum Ibrahim,
putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Ada
yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi. Dengan
demikian Raden Makdum adalah salah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya
adalah putri Raja Majapahit dan ayahnya adalah menantu Raja Majapahit. Sebagai
seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se-Tanah
Jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil,
Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan
disiplin. Sudah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu
lebih berat daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang
besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin. Disebutkan
dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih
remaja meneruskan pelajaran agama Islam hingga ke Tanah seberang, yaitu negeri
Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah
kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak
menetap di negeri Pasai. Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Baghdad,
Mesir, Arab, dan Parsi atau Iran. Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum
Ibrahim dan Raden Paku pulang ke Jawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan
pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri. Raden Makdum Ibrahim
diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban, dan
daerah Sempadan Surabaya. Bijak Dalam Berdakwah Dalam berdakwah Raden Makdum
Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka,
yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis
kuningan yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan
kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu di telinga penduduk setempat. Lebih-lebih
bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu. Beliau
adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila
beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya. Setiap Raden
Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin
mendengarkannya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan
Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim.
Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah
rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam
kepada mereka. Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah
tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah
mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan. Murid-murid
Raden Makdum Ibrahim sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean,
Jepara, Surabaya, maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang
dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang. Karya Sastra Beliau
juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra
Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan
makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di Perpustakaan
Universitas Leiden, Belanda. Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa”
artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu
Suluk. Ajaran yang biasa disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk.
Sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid. Di
bawah ini adalah Suluk karya Sunan Bonang yang disebut Suluk Wragul.
a.
Wragul 1
Berang-berang, jika diteliti ini raga
Belum ketemu hakikatnya
Ada atau tidakkah ia
Sebenarnya aku ini siapa
Impian beraneka ragam
Kalau dipikirkan akhirnya menyedihkan
Yang mustahil banyak sekali
Segala wujud di semesta ini
Tak putus-putus sama sekali
b.
Wragul 2
Maka dengarkanlah perlambang ini
Ada kera hitam sedang berdiri
Di tepi sungai
Tertawa keras tak kepalang
Kepada berang-berang yang mencarai makan
Siang dan malam
Terus tanpa kesudahan
Tak ingat bahwa ia diciptakan Tuhan
Yang diingat hanya makanan
Tanpa mempedulikan
Bahaya mengancam
c.
Wragul 3
Dilahapnya apa saja yang ia dapatkan
Dilahapnya apa saja yang ia dapatkan
Tidaklah ia memperhatikan
Tuhan Yang Mahaagung yang menciptakan
Mustahil Ia tak sanggup memberi makan
Dari kehidupan hingga kematian
Apa pun saja dikodratkan
Telah disesuaikan
Ulat dalam batu pun diberi santunan
Maka jangan hanya suntuk mencari makan
Kuburnya Ada Dua
Sunan
Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia
pada saat berdakwah di Pulau Bawean. Berita segera disebar ke seluruh Tanah
Jawa. Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan
memberikan penghormatan yang terakhir. Murid-murid yang berada di Pulau Bawean
hendak memakamkan jenazah beliau di pulau Bawean. Tetapi murid-murid yang
berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenazah beliau dimakamkan dekat
ayahandanya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan
pembungkus jenazah mereka pun tak mau kalah. Jenazah yang sudah dibungkus kain
kafan milik orang Bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.
Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenazah Sunan Bonang ke dalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa, kain kafan jenazah itu tertinggal satu. Kapal layar segera bergerak ke arah ke Surabaya. Tetapi ketika berada di perairan Tuban tiba-tiba kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak, sehingga terpaksa jenazah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu di sebelah barat Masjid Jami’ Tuban. Sementara kain kafan yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenazahnya. Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh hikmat. Dengan demikian ada dua jenazah Sunan Bonang. Inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan di antara murid-muridnya. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525. Makam yang dianggap asli adalah yang berada di kota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak diziarahi orang dari segala penjuru Tanah Air.
Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenazah Sunan Bonang ke dalam kapal dan hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa, kain kafan jenazah itu tertinggal satu. Kapal layar segera bergerak ke arah ke Surabaya. Tetapi ketika berada di perairan Tuban tiba-tiba kapal yang digunakan mengangkut jenazahnya tidak bisa bergerak, sehingga terpaksa jenazah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu di sebelah barat Masjid Jami’ Tuban. Sementara kain kafan yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenazahnya. Orang-orang Bawean pun menguburkannya dengan penuh hikmat. Dengan demikian ada dua jenazah Sunan Bonang. Inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan di antara murid-muridnya. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525. Makam yang dianggap asli adalah yang berada di kota Tuban sehingga sampai sekarang makam itu banyak diziarahi orang dari segala penjuru Tanah Air.
5.
Sunan Kalijaga
Diusir Dari Kadipaten Sunan Kalijaga
itu aslinya bernama Raden Said. Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta.
Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk
keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk
agama Islam. Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh
guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau
lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said
berontak. Gelora jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat
praktik oknum pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau
rakyat jelata. Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan
adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak
yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari
kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim
panen berikutnya sudah disita para penarik pajak. Walau Raden Said putra
seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terikat
oleh adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau
dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga paling atas.
Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk
kehidupan rakyat Tuban. Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah
disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia
cukup memahami posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu
tak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam
kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al Qur’an maka sekarang dia
keluar rumah. Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said
mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit.
Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya. Hal
ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka. Tentu saja rakyat yang tak tahu
apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak
diduga-duga. Walaupun mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan
rezeki itu, sebab Raden Said melakukannya di malam hari secara
sembunyi-sembunyi. Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan
turun dari langit itu. Penjaga Kadipaten juga merasa kaget, hatinya
kebat-kebit, soalnya makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat
kerajaan Majapahit itu makin berkurang. Ia ingin mengetahui siapakah pencuri
barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari
kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten. Dugaannya
benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang
itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri itu adalah Raden
Said, putra junjungannya sendiri. Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati
Wilatikta ia tak berani. Kawatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang
itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang
mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang. Raden Said tak pernah
menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar
dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan tiga orang prajurit Kadipaten
menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan
ayahnya. Adipati Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu. Raden Said
tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak
disetorkan ke Majapahit itu. Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman,
karena kejahatan mencuri itu baru pertama dilakukannya maka dia hanya mendapat
hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa
hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah
diterimanya? Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan
istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan
Raden Said selanjutnya? Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam
dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di Kabupaten Tuban. Terutama orang
kaya yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang. Harta hasil rampokan
itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya.
Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud
mencelakakannya. Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi
Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan
pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti
topeng Raden Said juga. Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja
menyelesaikan shalat Isya’ mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya
sedang dijarah perampok. Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu
mengetahui kedatangan Raden Said kawanan perampok itu segera berhamburan
melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik memperkosa seorang
gadis cantik. Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa.
Di dalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga
mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya
dia sudah selesai memperkosa gadis itu. Raden Said berusaha menangkap perampok
itu. Namum pemimpin rampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar
suara kentongan dipukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke
tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi
menghamburkan diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun
jadi panik dan kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk
dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa. Kepala
desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu
mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala desa jadi terbungkam. Sama
sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungannya sendiri
yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap
perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti kuat dan saksi
hidup atas kejadian itu. Sang kepala desa masih berusaha menutup aib
junjungannya. Diam-diam membawa Raden Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa
diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Raden Said yang selama
ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam.
Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban. “Pergi dari Kadipaten Tuban
ini! Kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri! Pergi! Jangan kembali
sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan
ayat-ayat Al Qur’an yang sering kau baca di malam hari!” Sang Adipati Wilatikta
juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat
menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup
kemungkinan kearah itu. Sirna sudah segala harapan sang Adipati. Hanya ada satu
orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan,
adik Raden Said, yang yakin bahwa Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan
sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat
menyayangi kakaknya itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia
meninggalkan istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak
pulang. Mencari Guru Sejati Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten
Tuban? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di
hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa
disebut perampok budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya.
Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin. Yang dirampoknya hanya para
hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak
mau membayar zakat. Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya
sebagai Brandal Lokajaya. Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di
hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu
membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan. Terus diawasinya orang tua
berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara
lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat
itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur. Dengan
susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada
suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamat-amati
gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas,
hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya
matahari, seperti emas. Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera
diulurkannya kembali tongkat itu,”Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan”.
“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” ujar lelaki itu sembari memperlihatkan
beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah! Aku telah berbuat dosa,
berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi”. “Hanya
beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?”, tanya Raden Said heran. “Ya,
memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata kucabut
guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar
suatu dosa!”, jawab lelaki itu. Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang
mengandung nilai iman itu. “Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan
ini?” “Saya menginginkan harta”, “Untuk apa?” “Saya berikan kepada fakir miskin
dan penduduk yang menderita”. “Hem, sungguh mulia hatimu, sayang… caramu
mendapatkannya yang keliru” “Orang tua… apa maksudmu?” “Boleh aku bertanya anak
muda?”, desah orang tua itu. “Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air
kencing, apakah tindakanmu itu benar?” “Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden
Said. “Hanya menambah kotor dan bau pakaian itu saja”. Lelaki itu tersenyum.
“Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat
secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan air
kencing”. Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya,”Allah itu
adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal”. Raden
Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk
hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini. Dipandangnya sekali lagi wajah
lelaki berjubah putih itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang
welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu. “Banyak
hal yang terkait dalam usaha mengentas kemiskinan dan penderitaan rakyat saat
itu. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuan makan dan uang
kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan para penguasa yang zalim
agar mau berubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat
membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya!”. Raden Said
makin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini. “Kalau kau
mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah
itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!” Berkata demikian lelaki itu menunjuk
pada sebatang pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya.
Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak
ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah
dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir, kalau benar
orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya. Tapi, setelah ia
mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap masih menjadi emas. Berarti orang itu
tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa heran dan penasaran. Ilmu apakah
yang telah dipergunakan orang itu sehingga mampu merubah pohon aren menjadi
emas? Selama beberapa saat Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia
mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas seluruhya. Ia
ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu. Mendadak
buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu
terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan. Ketika ia sadar, buah aren yang rontok
itu telah berubah lagi menjadi hijau seperti aren-aren lainnya. Raden Said
bangkit berdiri, mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah
tak ada di tempat. Ucapan orang tua itu masih terngiang di telinganya. Tentang
beramal dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air
kencing. Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.
Raden Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari
cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan. Sepertinya
santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah bisa
menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah, setelah
tenaganya terkuras habis dia baru sampai di belakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan
di depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan, dan sungai
itu tampaknya dalam, dengan apa dia harus menyeberang. “tunggu… “, ucap Raden
Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi. “Sudilah
Tuan menerima saya sebagai murid…”, pintanya. “Menjadi muridku?”, tanya orang
itu. “Mau belajar apa?” “Apa saja asal Tuan menerima saya sebagai murid…”
“Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya?”
“Saya bersedia…” Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai.
Raden Said diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu
sebelum lelaki itu kembali menemuinya. Raden Said bersedia menerima syarat
ujian itu. Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said
terbelalak heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan di daratan
saja. Kakinya tidak basah terkena air. Ia semakin yakin bahwa calon gurunya itu
adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin saja golongan para
wali. Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk
bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya di dalam Al Qur’an yaitu
kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa kepada Tuhan supaya ditidurkan
seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam. Doanya dikabulkan. Raden
Said tertidur dalam samadinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah
merambati sekujur tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi
Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan azan, pemuda
itu membuka sepasang matanya. Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru
yang bersih. Kemudian dibawa ke Tuban. Mengapa ke Tuban? Karena Lelaki berjubah
putih itu adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama
sesuai dengan tingkatannya, yaitu tingkat para waliullah. Di kemudian hari
Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga.
Kalijaga artinya yang menjaga sungai. Karena
dia pernah bertapa di tepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah
penjaga aliran kepercayaan yang hidup di masa itu. Dijaga maksudnya supaya
tidak membahayakan ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar. Ada
juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya
sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat atau
pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa iman sebagai
penunjuk jalan kehidupan. Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau
agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam
kancah masyarakat Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih
berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha. Sunan Bonang mampu berjalan di
atas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai. Bahkan sedikit pun ia tak terkena
percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan masyarakat
yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan
Bonang sendiri yaitu Islam.Kerinduan Seorang Ibu Setelah bertahun-tahun
ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan
gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang
mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika
berguncang. Kebetulan saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, kepala perampok
itu mengenakan pakaian dan topeng yang persis dikenakan Raden Said. Rahasia
yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu
tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah. Ibu Raden Said menangis
sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat
disayanginya itu. Sang Ibu tak pernah tahu bahwa anak yang didambakannya itu
bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban. Hanya saja tidak langsung ke
Istana Kadipaten Tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang. Untuk
mengobati kerinduan sang Ibu. Tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang
tinggi. Yaitu membaca Qur’an dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke istana
Tuban. Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding
istana Kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan isterinya.
Tapi Raden Said, masih belum menampakkan diri. Banyak tugas yang masih
dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhirnya, dia
kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya
Adipati Tuban dan isterinya menerima kedatangan putra-putri yang sangat
dicintainya itu. Karena Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan
ayahnya, akhirnya kedudukan Adipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri
yaitu putra Dewi Rasawulan dan Empu Supa. Raden Said meneruskan
pengembaraannya. Berdakwah atau menyebarkan Islam di Jawa Tengah hingga Jawa
Barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat diterima
dan dianggap sebagai Guru se Tanah Jawa. Dari petani, pejabat, pedagang,
bangsawan dan raja-raja dapat menerima ajaran Sunan Kalijaga yang berciri khas
Jawa namun tetap Islami. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai
tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di
Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangannya diterima di sisi Allah. Amin. Sunan
Bayat dan Syekh Domba (Murid Sunan Kalijaga) Murid-murid Sunan Kalijaga banyak
sekali, seperti Sunan Bayat, Sunan Geseng, Ki Ageng Sela, Empu Supa, dan
lain-lain. Di sini kami kisahkan tentang Sunan Bayat dan Syekh Domba. Bupati
Semarang pada waktu itu bernama Ki Pandhanarang. Ia terkenal sebagai seorang
bupati yang kaya raya. Disamping sehari-harinya dikenal sebagai seorang bupati,
ia juga berbakat sebagai seorang pedagang. Nah, karena mentalnya mental
pedagang maka dia suka keluyuran keluar masuk pasar setiap pagi. Ia pandai
mengambil keuntungan dari setiap usahanya. Ia berdagang emas, intan, permata
hingga sapi, kerbau, dan kambing. Kekayaannya pada saat itu sungguh diatas
rata-rata kekayaan pejabat. Istrinya banyak, anaknya banyak dan relasinya juga
banyak sehingga kedudukannya luar biasa kuatnya. Tak ada seorang pun yang mampu
menggoyangkannya bahkan pejabat di tingkat pusat sekalipun. Sayang ada satu
sifatnya yang tak baik yaitu kikirnya setengah mati, kikir alias bakhil alias
cethil bin medhit!. Ia mempunyai beberapa kendaraan bagus dan jempolan. Pada
jaman sekarang bisa sekelas Jaguar, Mercedes, Ferrari, ataupun BMW, namun pada
saat itu adalah seekor kuda terbaik dari Sumbawa. Nah, karena kuda dan sapinya
banyak maka tiap pagi ia membutuhkan berkarung-karung rumput segar untuk
santapan kuda dan sapinya. Suatu ketika di musim kemarau, para pegawainya yang
bertugas mencari rumput agak terlambat menyediakan santapan kudanya. Nah, pada
saat itu datanglah seorang penjual rumput memasuki halaman rumahnya. Umumnya
pada waktu itu sepikul rumput berharga dua puluh lima ketheng. Tapi ia
menawarnya dengan harga lima belas ketheng. Anehnya tanpa berbelit-belit
penjual rumput itu memberikannya begitu saja. Esoknya penjual rumput bercaping
lebar itu datang lagi. Kali ini ia datang lebih pagi dengan membawa rumput yang
lebih segar dari kemarin. Bertanya Ki Pandhanarang,”Pak Tua, sepagi ini kau
sudah membawa rumput sesegar ini. Darimana kau memperolehnya?”. “Dari Gunung
Jabalkat, Tuan…”, jawab si penjual rumput. Ki Pandhanarang merasa heran, sebab
Gunung Jabalkat adalah tempat yang sangat jauh sekali. Setelah rumput itu
dibayar seperti harga kemarin orang itu tidak segera beranjak pergi. “Hei Pak
Tua, apalagi yang kau tunggu?”. “Hamba ingin minta sedekah Tuan”. Ki
Pandhanarang merogoh sakunya, tanpa menoleh ia lemparkan seketheng di hadapan
kaki si penjual rumput lalu ia beranjak pergi. Tapi si penjual rumput buru-buru
maju menghadang. “Hamba tidak minta sedekah uang, yang hamba minta adalah
bedhug berbunyi di Semarang”.
Ki Pandhanarang mendelik penasaran. Minta bedhug berbunyi di Semarang? Itu sama halnya dengan permintaan mendirikan Masjid, dan menyebarkan agama Islam di Semarang. Ah, jangankan berdakwah wong shalat lima waktu saja sudah enggan melaksanakannya.
“Kau jangan minta yang aneh-aneh Pak Tua. Sudah ambil uang itu dan cepat pergi dari sini”. “Hamba tidak butuh uang. Dapatkah uang dan harta menjamin keselamatan kita di akhirat kelak?”. Ki Pandhanarang merah wajahnya pertanda marah. “Hai Pak Tua! Jangan menyepelekan uang dan harta. Dengan uang dan harta itulah seseorang terangkat derajatnya dan dihormati semua orang”. Dengan beraninya penjual rumput itu berkata,”Hamba kira tidak! Justru orang yang menjadi budak uang dan harta akan menjadi orang yang hina dina dan tidak berbudi pekerti karena terbiasa menghalalkan segala cara!” “Pak tua! Bicaramu makin tak karuan, apakah dengan pekerjaanmu sebagai penjual rumput itu kau merasa mulia. Apakah segala kebutuhan hidupmu, anak istrimu tercukupi?” “Soal harta dan kebutuhan hidup hamba selalu ikhlas terhadap apa yang diberikan Tuhan. Kalau Cuma menginginkan emas permata, sekali cangkul hamba bisa setiap saat mengeruknya dari dalam tanah” “huh! Omonganmu semakin sombong saja pak Tua! Coba buktikan omong besarmu itu! Jika memang terbukti aku akan berguru kepadamu, namun jika kau hanya berkoar atau main sulap maka kau akan kuhukum dengan hukuman seberat-beratnya!” Ki Pandhanarang lalu menyuruh pembantunya mengambil cangkul dan diberikan kepada si penjual rumput. “Hayo! Buktikan ucapanmu! Dengan tenang penjual rumput itu menerima cangkul. Lalu diayunkannya pelan, dan ketika ditarik dari dalam tanah keluarlah bongkahan emas permata. Semua orang terbelalak takjub melihat kejadian itu. Ki Pandhanarang yang mata duitan itu berdiri terpaku di tempatnya sampai-sampai ia tak menyadari lelaki penjual rumput itu sudah pergi meninggalkan halaman rumahnya. Ki Pandhanarang baru sadar bahwa ia berhadapan dengan orang berilmu tinggi. Maka seger dikejarnya kemana orang itu pergi. Sebagai seorang lelaki ia ingin memenuhi janjinya untuk berguru kepada si penjual rumput. Setelah mengerahkan segenap tenaganya barulah is berhasil menyusul lelaki penjual rumput itu. “Buat apa kau menyusulku? Masih kurangkah bongkahan emas permata tadi bagimu?” tegur si penual rumput itu. “Bukan, bukan untuk itu saya kemari”. “Lalu apa maumu?” “Saya ingin berguru kepada Tuan” “Berguru? Mau berguru apa, menimbun uang dan harta?”. “Bukan! Saya ingin memperdalam agama Islam sehingga nantinya dapat saya gunakan untuk membimbing rakyat Semarang”. “Jadi kau mau memenuhi permintaanku untuk membunyikan bedhug di Semarang?”. “Benar Tuan!”. “Berkorban dengan segala harta dan jiwa?”. “Saya bersedia…”. “Kalau begitu kau harus menjalankan ibadah selama hidupmu, jangan sampai teledor menegakkan shalat lima waktu. Kau harus beramal, dirikan masjid dan memberikan hartamu kepada para fakir miskin dan orang-orang yang berhak menerimanya. Jangan sekali-kali kau terpikat oleh harta kecuali hanya sekedarnya saja sebagai bekal ibadah. Orang berguru itu harus meninggalkan rumah, maka jika segala hal yang kupesan tadi sudah kau laksanakan segeralah kau susul aku ke Gunung Jabalkat”. “Wahai Tuan yang arif dan bijaksana. Ijinkanlah saya mengetahui siapakah gerangan Tuan ini sesungguhnya?” “Aku adalah Sunan Kalijaga yang diperintah para dewan wali untuk mengajakmu bergabung sebagai anggota Walisongo, menggantikan Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati”. Mendengar nama besar Sunan Kalijaga serta merta Ki Pandhanarang berlutut untuk menghormat, namun seketika itu juga Sunan Kalijaga lenyap dari pandangan matanya. Ki Pandhanarang pulang ke rumahnya. Kini ia berubah total. Dulu pelit sekarang menjadi dermawan sekali. Suka bersedekah. Ia juga yang memprakarsai dan menanggung biaya untuk pembangunan masjid di Semarang. Ia juga yang memilih kayu terbaik beserta kulit sapi yang sangat bagus untuk digunakan sebagai bedhug. Ia membayar zakat sebagaimana keharusannya setiap muslim yang diwajibkan. Ia menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Semua itu dilakukan dengan ikhlas karena Allah. Bukan sekedar untuk publikasi agar namanya terkenal. Setelah tiba saatnya ia bermaksud menyusul Sunan Kalijaga di Gunung Jabalkat. Salah seorang dari istrinya memaksa hendak ikut ke Gunung Jabalkat mendampingi dirinya. “Baiklah, kau boleh ikut tapi jangan membawa harta. Itulah pesan guruku, harta hanya menjadi penghalang bagi tujuan luhur cita-cita kita”. Keduanya lalu berpakaian serba putih. Keduanya berjalan kaki ke Gunung Jabalkat. Ki Pandhanarang berjalan di muka dengan membawa tongkat biasa. Istrinya berjalan di belakang dengan membawa tongkat bambu yang di dalam lubangnya diisi dengan emas dan permata.
Ki Pandhanarang yang berjalan di depan dicegat kawanan rampok, namun karena ia tidak membawa harta ia segera dilepaskan begitu saja. Sebaliknya, Nyai Pandhanarang dicegat tiga perampok. Tongkatnya dirampas, isinya dikeluarkan dan dijadikan rebutan. Tiga perampok itu bersorak kegirangan setelah mendapat emas dan permata milik Nyai Pandhanarang. Sementara Nyai Pandhanarang menangis tersedu-sedu. Ia berteriak-teriak memanggil suaminya yang berjalan jauh di depan. “Kakangmas…! Apakah kau sudah lupa pada istrimu? Ini ada orang tiga berbuat salah”. Konon karena peristiwa itulah, kini tempat kejadian itu dinamakan SALATIGA. Akhirnya Nyai Pandhanarang dapat menyusul suaminya. Suaminya tidak kaget mendengar penuturan istrinya karena ia sudah tahu bahwa sejak berangkat dari rumah, istrinya memang membawa emas dan permata. “Itulah, kau tidak mematuhi saran guruku. Harta hanya menjadi penghalang tujuan luhur kita. Sekarang kau berjalanlah di muka”. Nyai Pandhanarang kemudian berjalan di muka. Tidak berapa lama kemudian Ki Pandhanarang dicegat seorang perampok yang dikenal sebagai Ki Sambangdalan. “Serahkan hartamu atau kau akan kuhajar hingga babak belur!?”, demikian ancam Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!” jawab Ki Pandhanarang. Perampok itu tidak percaya, kemudian ia merampas tongkat Ki Pandhanarang. Tentu saja tongkat itu tidak ada emasnya karena hanya terbuat dari kayu biasa. “Dimana kau sembunyikan hartamu?” hardik Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!”, jawab Ki Pandhanarang sambil terus melangkah. Anehnya Ki Sambangdalan membiarkan saja korbannya berjalan. Ia hanya berani mengancam saja tapi tidak berani memukuli Ki Pandhanarang. Ki Sambangdalan terus mengikuti kemana Ki Pandhanarang berjalan sambil terus mengeluarkan ancaman. Lama-lama Ki Pandhanarang bosan dan risih mendengar ancaman Ki Sambangdalan. Maka ia berkata,”Kau ini bengal, keras kepala seperti domba saja!” Aneh, seketika kepala Ki Sambangdalan berubah menjadi kepala seekor domba atau kambing. Tapi ia tidak menyadarinya. Ia terus mengukuti kemana Ki Pandhanarang pergi. Suatu ketika keduanya sampai di tepi sungai. Melihat air Ki Sambangdalan merasa risih, ia takut terkena basah, lalu ia melihat bayangannya sendiri di air jernih maka menjeritlah ia. “Waduuuuhhh! Ampuuuuuuun, mengapa kepalaku berubah menjadi domba??”. “Itu karena kesalahanmu sendiri”, ujar Ki Pandhanarang. “Kembalikan ujud kepalaku seperti semula…”, pinta Ki Sambangdalan. Ki Pandhanarang tidak menjawab. Ki Sambangdalan menjadi takut, maka ia terus ikut kemanapun Ki Pandhanarang pergi. Perjalanan pun sampai di tempat tujuan, yaitu Gunung Jabalkat. Tapi pada saat itu Sunan Kalijaga sedang berdakwah ke luar daerah. Ki Pandhanarang berujar bahwa jika Ki Sambangdalan ingin menjadi manusia normal kembali, maka ia harus bertirakat dan bertobat. Untuk menebus dosanya Ki Sambangdalan harus mengisi jun (padasan) dengan air dibawah bukit. Jun itu tidak tertutup sehingga apabila Ki Sambangdalan sampai di atas bukit airnya sudah habis. Tapi karena ingin kepalanya kembali seperti semula maka ia tidak putus asa, tiap hari dilakukannya pekerjaan itu sambil beristighfar, tobat minta ampun kepada Tuhan.
Pada suatu hari Sunan Kalijaga datang ke tempat itu. Mereka bertiga segera duduk bersimpuh. Secara ajaib kepala Ki Sambangdalan kembali seperti ke ujud semula. Jun tempat wudhu tiba-tiba penuh dengan air tanpa ada yang mengisinya. Ketiga orang itu akhirnya belajar dengan tekun ilmu syariat dan hakikat agama Islam atas bimbingan Sunan Kalijaga yang diberi gelar Guru se-Tanah Jawa. Akhirnya mereka dapat mencapai tataran yang tinggi berkat ketekunan dan kesabarannya. Ki Pandhanarang menjadi seorang wali dan disebut dengan gelar Sunan Bayat karena menyebarkan agama Islam di daerah Bayat. Sementara Ki Sambangdalan juga menjadi seorang wali dan disebut sebagai Syekh Domba karena kepalanya pernah menjadi domba. Sunan Kalijaga memang sengaja menyadarkan Bupati Semarang tersebut untuk menjadi pengganti Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati karena dianggap sesat dan berlawanan dengan ajaran Walisongo. Setelah menjadi wali Ki Pandhanarang atau Sunan Bayat mempunyai beberapa karomah, diantaranya adalah pada suatu ketika ia menyamar sebagai pelayan tukang pembuat kue srabi. Ikut berdagang ke pasar sambil membawakan kayu bakar. Pada suatu hari pasar sangat ramai banyak orang membeli kue srabi, karena laris kayunya habis. Majikannya marah-marah karena Sunan Bayat tidak membawa kayu yang banyak sehingga tidak cukup digunakan melayani para pembeli. “Kau teledor! Sekarang bagaimana? Apakah tanganmu itu dapat kau gunakan sebagai pengganti kayu bakar?”, hardik si majikan. Tanpa pikir panjang lagi Sunan Bayat memasukkan tangannya ke dalam tungku dapur dan tangan itu menyala-nyala mengeluarkan api. Gemparlah hari itu. Banyak orang melihat dengan kepala mata mereka sendiri, tangan Sunan Bayat yang masuk ke dalam tungku itu mengeluarkan api. Dan banyak pula orang yang membeli kue srabi. Setelah tahu bahwa pelayannya adalah Sunan Bayat mantan bupati Semarang maka penjual kue srabi itu minta ampun berkali-kali, akhirnya suami istri penjual kue srabi itu menjadi pengikut Sunan Bayat yang setia.
Ki Pandhanarang mendelik penasaran. Minta bedhug berbunyi di Semarang? Itu sama halnya dengan permintaan mendirikan Masjid, dan menyebarkan agama Islam di Semarang. Ah, jangankan berdakwah wong shalat lima waktu saja sudah enggan melaksanakannya.
“Kau jangan minta yang aneh-aneh Pak Tua. Sudah ambil uang itu dan cepat pergi dari sini”. “Hamba tidak butuh uang. Dapatkah uang dan harta menjamin keselamatan kita di akhirat kelak?”. Ki Pandhanarang merah wajahnya pertanda marah. “Hai Pak Tua! Jangan menyepelekan uang dan harta. Dengan uang dan harta itulah seseorang terangkat derajatnya dan dihormati semua orang”. Dengan beraninya penjual rumput itu berkata,”Hamba kira tidak! Justru orang yang menjadi budak uang dan harta akan menjadi orang yang hina dina dan tidak berbudi pekerti karena terbiasa menghalalkan segala cara!” “Pak tua! Bicaramu makin tak karuan, apakah dengan pekerjaanmu sebagai penjual rumput itu kau merasa mulia. Apakah segala kebutuhan hidupmu, anak istrimu tercukupi?” “Soal harta dan kebutuhan hidup hamba selalu ikhlas terhadap apa yang diberikan Tuhan. Kalau Cuma menginginkan emas permata, sekali cangkul hamba bisa setiap saat mengeruknya dari dalam tanah” “huh! Omonganmu semakin sombong saja pak Tua! Coba buktikan omong besarmu itu! Jika memang terbukti aku akan berguru kepadamu, namun jika kau hanya berkoar atau main sulap maka kau akan kuhukum dengan hukuman seberat-beratnya!” Ki Pandhanarang lalu menyuruh pembantunya mengambil cangkul dan diberikan kepada si penjual rumput. “Hayo! Buktikan ucapanmu! Dengan tenang penjual rumput itu menerima cangkul. Lalu diayunkannya pelan, dan ketika ditarik dari dalam tanah keluarlah bongkahan emas permata. Semua orang terbelalak takjub melihat kejadian itu. Ki Pandhanarang yang mata duitan itu berdiri terpaku di tempatnya sampai-sampai ia tak menyadari lelaki penjual rumput itu sudah pergi meninggalkan halaman rumahnya. Ki Pandhanarang baru sadar bahwa ia berhadapan dengan orang berilmu tinggi. Maka seger dikejarnya kemana orang itu pergi. Sebagai seorang lelaki ia ingin memenuhi janjinya untuk berguru kepada si penjual rumput. Setelah mengerahkan segenap tenaganya barulah is berhasil menyusul lelaki penjual rumput itu. “Buat apa kau menyusulku? Masih kurangkah bongkahan emas permata tadi bagimu?” tegur si penual rumput itu. “Bukan, bukan untuk itu saya kemari”. “Lalu apa maumu?” “Saya ingin berguru kepada Tuan” “Berguru? Mau berguru apa, menimbun uang dan harta?”. “Bukan! Saya ingin memperdalam agama Islam sehingga nantinya dapat saya gunakan untuk membimbing rakyat Semarang”. “Jadi kau mau memenuhi permintaanku untuk membunyikan bedhug di Semarang?”. “Benar Tuan!”. “Berkorban dengan segala harta dan jiwa?”. “Saya bersedia…”. “Kalau begitu kau harus menjalankan ibadah selama hidupmu, jangan sampai teledor menegakkan shalat lima waktu. Kau harus beramal, dirikan masjid dan memberikan hartamu kepada para fakir miskin dan orang-orang yang berhak menerimanya. Jangan sekali-kali kau terpikat oleh harta kecuali hanya sekedarnya saja sebagai bekal ibadah. Orang berguru itu harus meninggalkan rumah, maka jika segala hal yang kupesan tadi sudah kau laksanakan segeralah kau susul aku ke Gunung Jabalkat”. “Wahai Tuan yang arif dan bijaksana. Ijinkanlah saya mengetahui siapakah gerangan Tuan ini sesungguhnya?” “Aku adalah Sunan Kalijaga yang diperintah para dewan wali untuk mengajakmu bergabung sebagai anggota Walisongo, menggantikan Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati”. Mendengar nama besar Sunan Kalijaga serta merta Ki Pandhanarang berlutut untuk menghormat, namun seketika itu juga Sunan Kalijaga lenyap dari pandangan matanya. Ki Pandhanarang pulang ke rumahnya. Kini ia berubah total. Dulu pelit sekarang menjadi dermawan sekali. Suka bersedekah. Ia juga yang memprakarsai dan menanggung biaya untuk pembangunan masjid di Semarang. Ia juga yang memilih kayu terbaik beserta kulit sapi yang sangat bagus untuk digunakan sebagai bedhug. Ia membayar zakat sebagaimana keharusannya setiap muslim yang diwajibkan. Ia menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Semua itu dilakukan dengan ikhlas karena Allah. Bukan sekedar untuk publikasi agar namanya terkenal. Setelah tiba saatnya ia bermaksud menyusul Sunan Kalijaga di Gunung Jabalkat. Salah seorang dari istrinya memaksa hendak ikut ke Gunung Jabalkat mendampingi dirinya. “Baiklah, kau boleh ikut tapi jangan membawa harta. Itulah pesan guruku, harta hanya menjadi penghalang bagi tujuan luhur cita-cita kita”. Keduanya lalu berpakaian serba putih. Keduanya berjalan kaki ke Gunung Jabalkat. Ki Pandhanarang berjalan di muka dengan membawa tongkat biasa. Istrinya berjalan di belakang dengan membawa tongkat bambu yang di dalam lubangnya diisi dengan emas dan permata.
Ki Pandhanarang yang berjalan di depan dicegat kawanan rampok, namun karena ia tidak membawa harta ia segera dilepaskan begitu saja. Sebaliknya, Nyai Pandhanarang dicegat tiga perampok. Tongkatnya dirampas, isinya dikeluarkan dan dijadikan rebutan. Tiga perampok itu bersorak kegirangan setelah mendapat emas dan permata milik Nyai Pandhanarang. Sementara Nyai Pandhanarang menangis tersedu-sedu. Ia berteriak-teriak memanggil suaminya yang berjalan jauh di depan. “Kakangmas…! Apakah kau sudah lupa pada istrimu? Ini ada orang tiga berbuat salah”. Konon karena peristiwa itulah, kini tempat kejadian itu dinamakan SALATIGA. Akhirnya Nyai Pandhanarang dapat menyusul suaminya. Suaminya tidak kaget mendengar penuturan istrinya karena ia sudah tahu bahwa sejak berangkat dari rumah, istrinya memang membawa emas dan permata. “Itulah, kau tidak mematuhi saran guruku. Harta hanya menjadi penghalang tujuan luhur kita. Sekarang kau berjalanlah di muka”. Nyai Pandhanarang kemudian berjalan di muka. Tidak berapa lama kemudian Ki Pandhanarang dicegat seorang perampok yang dikenal sebagai Ki Sambangdalan. “Serahkan hartamu atau kau akan kuhajar hingga babak belur!?”, demikian ancam Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!” jawab Ki Pandhanarang. Perampok itu tidak percaya, kemudian ia merampas tongkat Ki Pandhanarang. Tentu saja tongkat itu tidak ada emasnya karena hanya terbuat dari kayu biasa. “Dimana kau sembunyikan hartamu?” hardik Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!”, jawab Ki Pandhanarang sambil terus melangkah. Anehnya Ki Sambangdalan membiarkan saja korbannya berjalan. Ia hanya berani mengancam saja tapi tidak berani memukuli Ki Pandhanarang. Ki Sambangdalan terus mengikuti kemana Ki Pandhanarang berjalan sambil terus mengeluarkan ancaman. Lama-lama Ki Pandhanarang bosan dan risih mendengar ancaman Ki Sambangdalan. Maka ia berkata,”Kau ini bengal, keras kepala seperti domba saja!” Aneh, seketika kepala Ki Sambangdalan berubah menjadi kepala seekor domba atau kambing. Tapi ia tidak menyadarinya. Ia terus mengukuti kemana Ki Pandhanarang pergi. Suatu ketika keduanya sampai di tepi sungai. Melihat air Ki Sambangdalan merasa risih, ia takut terkena basah, lalu ia melihat bayangannya sendiri di air jernih maka menjeritlah ia. “Waduuuuhhh! Ampuuuuuuun, mengapa kepalaku berubah menjadi domba??”. “Itu karena kesalahanmu sendiri”, ujar Ki Pandhanarang. “Kembalikan ujud kepalaku seperti semula…”, pinta Ki Sambangdalan. Ki Pandhanarang tidak menjawab. Ki Sambangdalan menjadi takut, maka ia terus ikut kemanapun Ki Pandhanarang pergi. Perjalanan pun sampai di tempat tujuan, yaitu Gunung Jabalkat. Tapi pada saat itu Sunan Kalijaga sedang berdakwah ke luar daerah. Ki Pandhanarang berujar bahwa jika Ki Sambangdalan ingin menjadi manusia normal kembali, maka ia harus bertirakat dan bertobat. Untuk menebus dosanya Ki Sambangdalan harus mengisi jun (padasan) dengan air dibawah bukit. Jun itu tidak tertutup sehingga apabila Ki Sambangdalan sampai di atas bukit airnya sudah habis. Tapi karena ingin kepalanya kembali seperti semula maka ia tidak putus asa, tiap hari dilakukannya pekerjaan itu sambil beristighfar, tobat minta ampun kepada Tuhan.
Pada suatu hari Sunan Kalijaga datang ke tempat itu. Mereka bertiga segera duduk bersimpuh. Secara ajaib kepala Ki Sambangdalan kembali seperti ke ujud semula. Jun tempat wudhu tiba-tiba penuh dengan air tanpa ada yang mengisinya. Ketiga orang itu akhirnya belajar dengan tekun ilmu syariat dan hakikat agama Islam atas bimbingan Sunan Kalijaga yang diberi gelar Guru se-Tanah Jawa. Akhirnya mereka dapat mencapai tataran yang tinggi berkat ketekunan dan kesabarannya. Ki Pandhanarang menjadi seorang wali dan disebut dengan gelar Sunan Bayat karena menyebarkan agama Islam di daerah Bayat. Sementara Ki Sambangdalan juga menjadi seorang wali dan disebut sebagai Syekh Domba karena kepalanya pernah menjadi domba. Sunan Kalijaga memang sengaja menyadarkan Bupati Semarang tersebut untuk menjadi pengganti Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati karena dianggap sesat dan berlawanan dengan ajaran Walisongo. Setelah menjadi wali Ki Pandhanarang atau Sunan Bayat mempunyai beberapa karomah, diantaranya adalah pada suatu ketika ia menyamar sebagai pelayan tukang pembuat kue srabi. Ikut berdagang ke pasar sambil membawakan kayu bakar. Pada suatu hari pasar sangat ramai banyak orang membeli kue srabi, karena laris kayunya habis. Majikannya marah-marah karena Sunan Bayat tidak membawa kayu yang banyak sehingga tidak cukup digunakan melayani para pembeli. “Kau teledor! Sekarang bagaimana? Apakah tanganmu itu dapat kau gunakan sebagai pengganti kayu bakar?”, hardik si majikan. Tanpa pikir panjang lagi Sunan Bayat memasukkan tangannya ke dalam tungku dapur dan tangan itu menyala-nyala mengeluarkan api. Gemparlah hari itu. Banyak orang melihat dengan kepala mata mereka sendiri, tangan Sunan Bayat yang masuk ke dalam tungku itu mengeluarkan api. Dan banyak pula orang yang membeli kue srabi. Setelah tahu bahwa pelayannya adalah Sunan Bayat mantan bupati Semarang maka penjual kue srabi itu minta ampun berkali-kali, akhirnya suami istri penjual kue srabi itu menjadi pengikut Sunan Bayat yang setia.
6.
Sunan Kudus
Asal-usulMenurut salah satu sumber,
Sunan Kudus adalah putra Raden Usman haji bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan.
Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini sebelah utara kota Blora. Di dalam
Babad Tanah Jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak
Bintoro yang berperang melawan pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku senopati
Demak berhadapan dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam
pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung
gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian
digantikan oleh Sunan Kudus yaitu putranya sendiri yang bernama asli Ja’far
Sodiq. Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun melalui siasat
Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka (persenjataan) dari Raden Patah yang dibawa
dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang. Keadaan ini
tentu bukan semata-mata berkat siasat Sunan Kalijaga dan bantuan pusaka Raden
Patah, tetapi karena izin Allah, siasat itu dapat merubah keadaan peperangan
itu. Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan
Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin
lasykar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata
adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya
bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke
belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.
Guru-gurunya Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Ja’far Sodiq
juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai
Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel. Nama asli kiai Telingsing adalah
The Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri Cina yang datang ke
pulau Jawa bersama Laksamana Jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam
sejarah. Jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa untuk
menjalin tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.Di
Jawa, The Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal
di sebuah daerah subur yang terletak di antara sungai Tanggulangin dan Sungai
Juwana sebelah timur. Di sana beliau bukan hanya mengajar agama Islam,
melainkan juga mengajarkan kepada para penduduk seni ukir yang indah. Banyak
yang datang berguru seni ukir kepada Kiai Telingsing, termasuk Raden Ja’far
Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari Cina itu,
Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan
dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh
besar bagi kehidupan dakwah Raden Ja’far Sodiq di masa selanjutnya yaitu
tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha. Selanjutnya,
Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa
tahun.
Cara berdakwah yang luwes
a.
Strategi Pendekatan Kepada Massa
Sunan Kudus termasuk pendukung
gagasan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada
masyarakat sebagai berikut:
Membiarkan dulu adat istiadat dan
kepercayaan lama yang sukar diubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan
jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian. Bagian adat
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera
dihilangkan. Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap
kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit
demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari
belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras di dalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya. Pada akhirnya boleh saja merubah dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik pada ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam secara konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non muslim. Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunungjati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut Kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri. Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhirnya dapat dikompromosikan.
Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras di dalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya. Pada akhirnya boleh saja merubah dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik pada ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam secara konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non muslim. Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunungjati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut Kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri. Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhirnya dapat dikompromosikan.
b.
Merangkul Masyarakat Hindu
Di Kudus pada waktu itu penduduknya
masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam
tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan
lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam
masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar. Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus. Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa. Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus? Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan masyarakat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri. Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya. “Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai”, Sunan Kudus membuka suara. “Saya melarang sauadara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di waktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya”. Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum kagum. Mereka menyangka Raden Ja’far Sodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. “Demi rasa hormat saya kepada jenis hewan yang telah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih Sapi!” Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu. Sunan Kudus melanjutkan,”Salah satu di antara surat-surat di dalam Al Qur’an yaitu surat kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah”, kata Sunan Kudus. Masyarakat makin tertarik. Kok ada Sapi di dalam Al Qur’an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus. Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam. Bentuk Masjid yang dibuat Sunan Kudus pun juga tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah Menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak merasa takut atau segan masuk ke dalam masjid guna mendengarkan ceramah Sunan Kudus.
Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar. Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus. Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa. Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus? Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan masyarakat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri. Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya. “Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai”, Sunan Kudus membuka suara. “Saya melarang sauadara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di waktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya”. Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum kagum. Mereka menyangka Raden Ja’far Sodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. “Demi rasa hormat saya kepada jenis hewan yang telah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih Sapi!” Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu. Sunan Kudus melanjutkan,”Salah satu di antara surat-surat di dalam Al Qur’an yaitu surat kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah”, kata Sunan Kudus. Masyarakat makin tertarik. Kok ada Sapi di dalam Al Qur’an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus. Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam. Bentuk Masjid yang dibuat Sunan Kudus pun juga tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah Menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak merasa takut atau segan masuk ke dalam masjid guna mendengarkan ceramah Sunan Kudus.
c.
Merangkul Masyarakat Budha
Sesudah berhasil menarik umat Hindu
ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu
menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara masjid mirip
candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang
tidak mudah, harus kreatif dan bersifat tidak memaksa. Sesudah masjid berdiri,
Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah
delapan. Masing-masing pancuran diberi arca Kepala Kebo Gumarang di atasnya.
Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha “Jalan berlipat delapan” atau “Asta
Sanghika Marga”, yaitu:
a)
Harus memiliki pengetahuan yang
benar
b)
Mengambil keputusan yang benar.
c)
Berkata yang benar.
d)
Hidup dengan cara yang benar.
e)
Bekerja dengan benar.
f)
Beribadah dengan benar.
g)
Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya itupun membuahkan hasil,
banyak umat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat
Budha itu di padasan atau tempat berwudhu. Sehingga mereka berdatangan ke
masjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
d.
Selamatan Miton
Di dalam cerita tutur disebutkan
bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih
berpegang teguh pada adat istiadat lama. Seperti diketahui, rakyat Jawa yang
melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadangkala bertentangan dengan ajaran
Islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan untuk menunjukkan belasungkawa atau
berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni,
mitoni, dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual
itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk
Islami. Hal ini dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria. Contohnya, bila
seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah acara
selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya
lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anakanya perempuan supaya cantik
seperti Dewi Ratih. Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan
Kudus. Melainkan diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus
dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan
bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang.
Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan bila anaknya lahir
laki-laki akan berwajah tampan seperti Nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti
Siti Mariam ibunda Nabi Isa a.s. Untuk itu sang ayah dan ibu perlu
sering-sering membaca surat Yusuf dan surat Mariam dalam Al Qur’an. Sebelaum
acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya’ atau sejarah
para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara
pembacaan Layang Ambiya’ yang berbentuk tembang Asmaradana, Pucung, dan
lain-lain itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan. Berbeda dengan cara
lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian
diikrarkan (dihajatkan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat dan setelah upacara
sakral itu dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di
candi, di kuburan atau di tempat-tempat sunyi di lingkungan tuan rumah. Ketika
pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau
mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke
dalam Masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak mitoni
dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga bulan. Sebelum masuk
masjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya di kolam yang sudah
disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat
yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu. Inilah kesalahan Sunan
Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat
tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau
tauhid mereka belum terbina. Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang
masyarakat lagi. Kali ini masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kainya
waktu masuk masjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong
memenuhi undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam
agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi
dengan cukup cerdik, yaitu ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya kepada
keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikawatirkan
mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya. Cara tersebut kadang
mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya, yaitu rakyat jadi ingin
tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke
Masjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena rasa ingin tahu itu demikian
besar mereka tak peduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu
membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan
untuk berwudhu. Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di
masa lalu. Rakyat tetap menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang
ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung
melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang
pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Di dalam
tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.
Sunan kudus di negeri Mekah
Di dalam legenda dikisahkan bahwa
Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah
Suci Mekah. Sewaktu berada di Mekah beliau menunaikan ibadah haji. Dan
kebetulan di sana ada wabah penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri Arab
mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan
diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya. Sudah banyak orang
mencoba tak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq
mengahadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambut dengan sinis. “Dengan
apa tuan melenyapkan wabah penyakit itu?” tanya sang Amir. “Dengan doa”,jawab
Ja’far Sodiq singkat. “Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya.
Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini” “Saya mengerti,
memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja
kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan”, kata Jakfar Sodiq. “Hem,
sungguh berani tuan berkata demikian”, kata Amir itu dengan nada berang. “Apa
kekurangan mereka?”. “Anda sendiri yang menyebabkannya”, kata Jakfar Sodiq
dengan tenangnya. “Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati
mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharap
hadiah”. Sang Amir pun terbungkam atas jawaban itu. Jakfar Sodiq lalu
dipersilakan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Secara
khusus Jakfar Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat
wabah penyakit mengganas di negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang
yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh. Bukan main
senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang
dijanjikannya bermaksud diberikannya kepada Jakfar Sodiq. Tapi Jakfar Sodiq
menolaknya, dia hanya minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang
Amir mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah Jawa, dipasang di pengimaman
masjid Kudus yang didirikannya sekembali dari Tanah Suci. Rakyat kota Kudus
pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para Wali mengadakan
sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada
akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di daerah itu. Karena Masjid yang
dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan
Kudus.
Tugas sebagai Senopati
Malam hitam pekat, udara musim
kemarau terasa sangat dingin menusuk tulang. Penduduk desa Pengging yang
terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur, sebab malam itu terdengar
auman harimau sambung-menyambung, terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga,
kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke desa dan memangsa
hewan ternak mereka. Tapi sampai pagi tidak ada seekor harimau tampak masuk
kampung. Para penduduk penasaran. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan
untuk memeriksa, apakah benar di dalam hutan yang sudah mereka kenal selama ini
ada harimaunya. Dengan senjata siap di tangan mereka siap menghadapi segala
kemungkinan. Di tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan, melainkan
tujuh orang santri dan seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa.
“Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini?” tanya tetua desa. “Tidak”,
jawab lelaki berjubah putih itu.“Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak
melihat seekor harimau pun”. “Aneh, semalaman kami tak dapat tidur karena auman
suara harimau yang terus menerus”,gunam tetua desa. “Kalau begitu namakanlah
tempat ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada
Sima”, kata lelaki berjubah putih. Tetua desa itu menurut, hingga sekarang
tempat lelaki berjubah putih bermalam itu dinamakan desa Sima. Lelaki berjubah
putih itu kemudian meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati
Kebo Kenanga atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging. Pagi itu udara masih
terasa menggigit tulang. Seiring dengan langkah lelaki berjubah putih dan tujuh
orang pengikutnya yang makin mendekati ujung desa Pengging tiba-tiba di udara
nampak dua ekor gagak terbang sambil mengeluarkan suara khasnya. Adanya suara
burung gagak adalah lambang kematian, berarti akan ada sosok manusia yang
dicabut nyawanya oleh Sang Malaikat Maut. Siapakah orang yang bakal mati hari
ini? Siapa pula orang berjubah putih yang nampak agung dan berwibawa itu?
Mengapa tujuh orang santri terus mengikutinya dari belakang? Apa tujuan mereka
ke desa Pengging? Pengging atau Pajang pada beberapa tahun silam bukanlah
sebuah desa terpencil. Pengging adalah sebuah Kadipaten yang sangat terkenal
karena Adipati Handayaningrat yang memimpin adalah Putra Prabu Brawijaya
Penguasa Majapahit. Adipati Handayaningrat mempunyai dua orang putra lelaki.
Yang pertama bernama Kebo Kanigara, yang kedua Kebo Kenanga. Ketika sang
Adipati meninggal dunia, Kebo Kanigara mengembara tak ketahuan rimbanya. Sedang
Kebo Kenanga masuk Islam menjadi murid Syekh Siti Jenar. Tenggelam dalam alur
faham Siti Jenar sehingga pikirannya berubah. Tak mau mengurus lagi Kadipaten
warisan orang tuanya. Ia malah mengajak rakyatnya untuk hidup wajar sebagai
petani biasa. Sungguh mengagumkan. Hasil panen para petani Pengging kemudian
tersebar ke penjuru desa lainnya. Bahkan menggetarkan dinding-dinding istana
Demak Bintoro, karena Ki Ageng Pengging tak pernah sowan menghadap Sri Sultan.
Dan tentu saja tak pernah menyerahkan upeti pertanda setia dan tetap tunduk
kepada Demak Bintoro. Karena itu Raden Patah segera mengutus dua perwira utama
untuk menengok Ki Ageng Pengging. “Ki Ageng”, kata utusan itu setelah tiba di
hadapannya. “Sudah dua tahun Andika tidak menghadap Gusti Sultan Demak. Kami
diperintahkan mengingatkan Andika, sebab Gusti Sultan sudah sangat merindukan
kehadiran Andika selaku saudaranya”. Ki ageng Pengging menatap dua orang utusan
itu dengan tajam. “Buat apa seorang petani desa menghadap Sri Sultan? Hanya
bikin malu Sri Sultan saja. Hai utusan kembali-lah dan katakan kepada Sri
Sultan aku tak dapat memenuhi panggilannya. Mohonkan ampun atas sikapku ini”. Dua
orang utusan itu segera kembali ke istana Demak. Tak berapa lama kemudian Ki
Ageng Pengging memanggil dalang wayang beber. Selepas shalat Isya’ dalang pun
segera memainkan lakon wayangnya. Penduduk berduyun-duyun menyaksikan
pertunjukan gratis itu. Ketika hampir muncul fajar sidik di ufuk timur.
Tiba-tiba istri Ki Ageng Pengging menggerang kesakitan. Ia merasa si jabang bayi
akan segera lahir. Ki Ageng Pengging segera memerintahkan Ki Dalang untuk
mengakhiri pertunjukannya. Orang-orang pun segera sibuk menolong istri Ki Ageng
Pengging. Ternyata yang lahir adalah laki-laki yang elok rupanya. Ki Ageng
Tingkir berkata kepada adik seperguruannya. “Adimas, karena anakmu lahir
bertepatan dengan pagelaran wayang beber maka anakmu kuberi nama Karebet”. “Terima
kasih atas kesediaan memberi nama anak ini”, ujar Ki Ageng
Pengging.“Mudah-mudahan dia dapat meniru kegagahan dan watak satria Kakang”. Ki
Ageng Tingkir turut bergembira atas kelahiran putra adik seperguruannya itu.
Selama tiga hari ia menunggui kelahiran bayi itu di Pengging. Sementara itu,
Raden Patah mengatur siasat. Dua orang utusannya telah gagal memanggil Ki Ageng
Pengging. Sekarang dia mengutus Ki Wanapala untuk memanggil Ki Ageng Pengging. Ki
Wanapala adalah bekas Mahapatih Demak Bintoro yang sudah mengundurkan diri.
Kedudukannya telah digantikan anaknya sendiri. Namun ia masih sering datang ke
istana Demak jika diperlukan Raden Patah untuk dimintai pertimbangan. Namun
patih senior ini juga tak mampu menjinakkan sikap Ki Ageng Pengging, ia pulang
dengan tangan hampa. Ki Wanapala tak berpanjang kata. Ia segera kembali ke
Demak. Melaporkan segala apa yang didengarnya. Sri Sultan setuju atas keputusan
Ki Wanapala memberi tenggang waktu selama tiga tahun. Namun ketika tiga tahun
lewat Ki Ageng belum menghadap ke Demak juga. Atas nasehat para Wali, maka Sri
Sultan mengirim utusan ketiga. Yang ditugaskan kali ini adalah Sunan Kudus.
Tugas kali ini harus tuntas. Karena Sunan Kudus yang terkenal memiliki ilmu
logika tinggi dan beribu ilmu kesaktian itu terpilih menangani masalah ini. Sri
Sultan tak perlu mengirim utusan keempat lagi. Walaupun Sunan Kudus itu
Panglima Perang Demak, tetapi para Wali melarangnya menggunakan baju dan
seragam militernya. Sunan Kudus disarankan agar memakai pakian jubah putih
sebab yang dihadapinya adalah seorang santri desa. Berangkatlah Sunan Kudus
dengan iringan tujuh prajurit Demak pilihan yang juga menyamar sebagai para
santri biasa. Tiga tahun memang telah berlalu dengan cepatnya. Ki Ageng
Pengging tidak pernah menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten Pengging yang dulu
pernah mengalami kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat tidak
diurus lagi. Kebo Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam dalam dunia
kebatinan yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar. Walau tampaknya Ki Kebo
Kenanga atau Ki Ageng Pengging itu tak mengurus pemerintahan Kadipaten, tapi
sesungguhnya para prajuritnya masih setia kepadanya, mereka menyembunyikan
keperwiraannya di balik baju petani. Tetapi sewaktu-waktu mereka bisa
digerakkan jika diperlukan oleh Ki Ageng Pengging. Hal ini disadari oleh
pemerintah pusat Demak Bintoro. Itu sebanya Sri Sultan memilih Sunan Kudus
untuk menggali sang pembangkang yaitu Ki Ageng Pengging ini. Suasana Kadipaten
Pengging benar-benar lengang. Pagi itu penduduk banyak yang pergi ke sawah dan
ladang masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten tidak kelihatan. Di pusat
bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu kini hanya ada sebuah rumah yang
tak seberapa besar. Bentuknya seperti rumah penduduk lainnya. Sunan Kudus
memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia sendiri
berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap. Dia yakin tugasnya
kali ini akan membawa hasil. Seperti sudah dilambangkan oleh Bende Kyai Sima,
yaitu pusaka warisan dari mertuanya yang dibunyikan di dalam hutan saat dia
kemalaman. Bila bende itu dipukul bunyinya seperti harimau maka tandanya akan
berhasil, bila tidak mengeluarkan auman harimau berarti akan menemui kegagalan.
Di depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita setengah
baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud kedatangannya
untuk menemui Ki Ageng Pengging. “Maaf tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng
mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui tamu”, kata pelayan
itu. “Aku bukan tamu biasa”, kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan
yang datang dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging”. Pelayan itu
masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang dianggapnya aneh.
Ternyata Ki Ageng bersedia menerima tamunya. Sunan Kudus dipersilakan masuk ke
dalam rumahnya. Istri Ki Ageng Pengging membuatkan minuman untuk menghormati
tamu khusus itu. Tinggallah di ruang tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan
Kudus. “Wahai Ki Ageng, saya diperintah oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang
kau pilih. Di luar atau di dalam? Di atas atau di bawah?”, tanya Sunan Kudus.
Ki Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga diberi
pertanyaan serupa oleh Ki Wanasalam, patih Demak Bintoro. “jawabanku tetap sama
dengan tiga tahun yang lalu”,kata Ki Ageng Pengging. “Atas-bawah, luar-dalam
adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya”. Jawaban itu bagi Sunan Kudus adalah
sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging punya maksud ganda. Ingin menjadi
rakyat atau bawahan Demak Bintoro sekaligus ingin menjadi penguasa Demak
Bintoro. Jelasnya dia tidak mau mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini
pembangkangan namanya. Kasarnya pemberontak! Bahwa Ki Ageng Pengging itu murid
Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah dihukum mati karena kesesatannya, Sunan
Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syeikh
Siti Jenar itu atau sudah meninggalkannya sama sekali. “Saya pernah mendengar
bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup”, kata Sunan
Kudus. “Benarkah apa yang saya katakan itu? Saya ingin melihat buktinya”. “Memang
begitu!”, jawab Ki Ageng Pengging. “Kau anggap apa saja aku ini maka aku akan
menurut apa yang kau sangka. Kau anggap aku santri memang aku santri, kau
anggap aku ini raja, memang aku keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat
memang aku rakyat, dan kau anggap aku ini Allah aku memang Allah!” Klop sudah!
Ki Ageng Pengging masih memegang teguh ajaran Syekh Siti Jenar yang berfaham
Wihdatul Wujud atau berfilasafat serba Tuhan. Faham itu adalah bertentangan
dengan Islam yang disiarkan para wali, sehingga Syekh Siti Jenar dihukum mati. Sunan
Kudus juga cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai
ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata apapun juga.
Maka Sunan Kudus bermaksud mengorek kelemahan Ki Ageng Pengging dengan jalan
diplomasi. “Seperti pengakuan Ki Ageng, bahwa Ki Ageng dapat mati di dalam
hidup. Saya ingin melihat buktinya”. “Jadi itukah yang dikehendaki Sulatan
Demak?. Baiklah, tidak ada orang mati tanpa sebab, maka kau harus membuat sebab
kematianku. Bagiku hidup dan mati tidak ada bedanya”. Ki Ageng Pengging
berhenti sejenak, menatap dalam-dalam wajah Sunan Kudus. “Tapi jangan
melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang mati”. Sunan Kudus menyanggupi
permintaan Ki Ageng. Ki Ageng menghela nafas panjang. “Tusuklah siku lenganku
ini….!”, ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya. Sunan Kudus pun
melakukannya. Siku Ki Ageng ditusuk dengan ujung keris, seketika matilah Ki
Ageng Pengging. Sunan Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan
langkah tenang. Disambut oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan
menuju Demak Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang hendak
menghidangkan jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati di
ruang tamu. Penduduk sekitar berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu pemimpinnya
dibunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama mengejar Sunan
Kudus. 200 orang bekas prajurit dan perwira dipimpin bekas Senopati Kadipaten
Pengging mencabut senjata dan berteriak-teriak memanggil Sunan Kudus dari
kejauhan. Sunan Kudus berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul
ribuan prajurit Demak yang berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging
mengejar ke arah timur, padahal Sunan Kudus dan pengikutnya berada di sebelah
utara. Tidak berapa lama kemudian ribuan prajurit itu lenyap. Orang Pengging
kebingungan, tak tahu hars berbuat apa. Akal mereka seperti hilang. Sunan Kudus
kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka disadarkan kembali dengan
pengerahan ilmunya. “Jangan turut campur urusan besar ini. Ki Ageng Pengging
sudah diperingatkan selama tiga tahun. Tapi dia tetap tak mau menghadap ke
Demak. Itu berarti dia sengaja hendak memberontak! Nah, kalian rakyat kecil,
tak ada hubungannya dengan urusan ini. Pulanglah!” Suara Sunan Kudus terdengar
berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk Pengging itu seperti baru sadar dan
mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah seorang Senopati Demak Bintoro yang
kondang mempunyai seribu satu macam kesaktian. Mereka tak kan mampu
menghadapinya. “Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini”,
kata Sunan Kudus.“Segeralah kalian urus jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan
kalian yang terakhir kepada pemimpin kalian” Orang-orang Pengging itu tak
menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka kembali ke rumah Ki Ageng untuk
menguburkan jenazah pemimpin mereka. Sunan Kudus dan tujuh pengikutnya segera
kembali ke Demak. Cita-cita Ki Ageng Pengging agar anak turunannya menjadi Raja
ternyata kesampaian. Anaknya yang bernama Keberet itu diambil anak angkat oleh
Ki Ageng Tingkir dan setelah dewasa bernama Jaka Tingkir. Jaka Tingkir inilah
yang bakal memindahkan pusat pemerintahan Demak ke desa Pengging atau Pajang.
7.
Sunan Drajad
Asal-usul Nama asli Sunan Drajad
adalah Raden Qosim, beliau putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan
merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang. Raden Qosim yang
sudah mewarisi ilmu ayahnya kemudian diperintah untuk berdakwah di sebelah
barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban dan Gresik. Raden
Qosim mulai perjalanannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah singgah di
tempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah barat itu perahu beliau tiba-tiba
dihantam ombak yang besar sehingga menabrak karang dan hancur. Hampir saja
Raden Qosim kehilangan nyawa, tapi bila Tuhan belum menentukan ajal seseorang
bagaimana pun hebatnya kecelakaan pasti dia akan selamat, demikian pula halnya
dengan Raden Qosim. Secara kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan talang datang
kepadanya. Dengan menunggang punggung ikan tersebut Raden Qosim dapat selama hingga
ke tepi pantai. Raden Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu.
Beliau juga berterima kasih kepada ikan talang yang dengan lantarannya dia
selamat. (tentu maksudnya berterima kasih kepada Allah, katrena Allah telah
mengirimkan ikan talang itu menjadi media pertolongan Allah kepadanya). Untuk
itu beliau telah berpesan kepada anak keturunannya agar jangan sampai makan
daging ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan mengakibatkan bencana, yaitu
ditimpa penyakit yang tiada lagi obatnya. Ikan talang itu membawa Raden Qosim
hingga ke tepi pantai yang termasuk wilayah desa Jelag (sekarang termasuk
wilayah desa Banjarwati), kecamatan Paciran. Di tempat itu Raden Qosim disambut
masyarakat setempat dengan antusias, lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden
Qosim adalah putra Sunan Ampel seorang Wali besar dan masih terhitung kerabat
keraton Majapahit. Di desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan Pesantren. Karena
caranya menyiarkan agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang datang
berguru kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim
mendapat ilham supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 kilometer,
di sana beliau mendirikan surau langgar untuk berdakwah. Tiga tahun kemudian
secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun tempat berdakwah yang
strategis yaitu di tempat ketinggian yang disebut Dalem Duwur. Di bukit yang
disebut Dalem Duwur itulah yang sekarang dibangun Museum Sunan Drajad, adapun
makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat Museum tersebut. Raden Qosim adalah
pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya, dalam berdakwah
adalah pendukung aliran Putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya, dalam
berdakwah menyebarkan agama Islam, beliau menganut jalan lurus, jalan yang
tidak berliku-liku. Agama harus diamalkan dengan lurus dan benar sesuai dengan
ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur baur dengan adat dan kepercayaan lama. Meski
demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah. Di
dalam museum yang terletak di sebelah timur makamnya terdapat seperangkat bekas
gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi penghargaan Sunan Drajad kepada
kesenian Jawa. Dalam catatan sejarah Wali Songo, Raden Qosim disebut sebagai
seorang Wali yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau
juga sangat rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang
dermawan. Di kalangan rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan sering menolong
mereka yang menderita. Ajaran Sunan Drajat yang Terkenal
Di antara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
Di antara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
a.
Menehono teken marang wong wuto (Berilah
tongkat kepada orang yang buta)
b.
Menehono mangan marang wong kang
luwe (Berilah makan kepada orang yang kelaparan)
c.
Menehono busono marang wong kang
wudo(Berilah pakaian kepada orang yang telanjang)
d.
Menehono ngiyup marang wong kang
kudanan (Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan)
Di samping terkenal sebagai seorang
Wali yang berjiwa dermawan dan sosial, beliau juga dikenal sebagai anggota Wali
Songo yang turut serta mendukung dinasti Demak. Simbol kebesaran umat Islam
pada waktu itu. Di bidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir,
beliau juga pertama kali yang menciptakan Gending Pangkur. Hingga sekarang
gending tersebut masih disukai rakyat Jawa. Sunan Drajat, demikian gelar Raden
Qosim, diberikan kepada beliau karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit
yang tinggi, seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat
atau derajat para ulama muqarrobin. Ulama yang dekat dengan Allah swt.
8.
Sunan Muria
Asal-usul Beliau
adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said.
Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat
mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk
menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria. Tempat tinggal beliau di gunung
Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya di sebelah utara kota
Kudus. Menurut Solichin Salam, sasaran dakwah beliau adalah para pedagang,
nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap
mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk
menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
Sakti Mandraguna Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuat fisiknya
dapat dibuktikan dengan letak Padepokannya yang terletak di atas gunung.
Menurut pengalaman penulis (Abu Khalid, MA) jarak antara kaki undag-undagan
atau tangga dari bawah bukit sampai ke makam Sunan Muria tidak kurang dari 750
m. Bayangkanlah, jika Sunan Muria dan istrinya atau dengan muridnya setiap hari
harus naik turun, turun naik guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk
setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang.
Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Soalnya
menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat tinggal
Sunan Muria. Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki kesaktian
tinggi, demikian pula murid-muridnya. Bukti bahwa Sunan Muria adalah guru yang
sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi
Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang
disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana. Demikian
saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai
berguru kepada beliau. Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas
usia Dewi Roroyono yang genap dua puluh tahun. Murid-muridnya diundang semua.
Seperti: Sunan Muria, Sunan Kudus. Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya
Gentiri. Tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak kadang yang dari
jauh. Setelah tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati
keluar menghidangkan makanan dan miniman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik
rupawan. Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua puluh tahun, bagaikan bunga
yang sedang mekar-mekarnya. Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah
berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret
oleh godaan setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati
Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat
kecantikan gadis itu. Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu
ketika Pathak Warak belum menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil, belum
nampak benar kecantikannya yang mempesona, sekarang, gadis itu benar-benar
membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot
memandangi gadis itu terus menerus. Karena dibakar api asmara yang menggelora,
Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang
tidak pantas. Lebih-lebih setelah lelaki itu bertindak kurang ajar. Tentu saja
Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketika lelaki itu berlaku kurang ajar
dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas disentuh. Si gadis naik
pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang
Adipati. Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan
seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya itu,
diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis
itu adalah putri gurunya. Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis
sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak. Malam hari tamu-tamu dari
dekat sudah pulang ke tempatnya masing-masing. Tamu dari jauh terpaksa menginap
di rumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga
lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya. Pathak Warak
kemudian bangkit dari tidurnya. Mengendap-endap ke kamar Roroyono. Gadis itu
disirapnya (sirap atau sirep dikenal sebagai ilmu semacam hipnotis), sehingga
tak sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak melorot turun dan
membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika,
wilayah Keling atau Kediri. Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya
diculik oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil
membawa putrinya kembali ke Ngerang akan dijodohkan dengan putrinya itu, dan
bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan
kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman
Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Sunan Ngerang. “Saya
akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak”, kata Sunan
Muria. Tetapi, di tengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan
Gentiri, adik seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran
berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju
arah daerah Keling. “Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa?”, tanya Kapa. Sunan
Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak
Warak. Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara
seperguruan yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu
Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono. “Kakang sebaiknya pulang ke
Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat membutuhkan bimbingan.
Biarlah kami yang berusaha merebut diajeng Roroyono kembali. Kalau berhasil
Kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekedar membantu”, demikian kata
Kapa. “Aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri”, ujar Sunan Muria. “Itu
benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam juga lebih penting,
percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali”, kata Kapa ngotot.
Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya
tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus
menengok para santri di Padepokan Gunung Muria. Untuk merebut Dewi Roroyono
dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata meminta bantuan seorang
Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang
jarang ada tandingannya. Usaha mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke
Ngerang. Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui
perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Di tengah jalan beliau bertemu dengan
Adipati Pathak Warak. “Hai Pathak Warak berhenti kau!”, bentak Sunan Muria.
Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti, karena Sunan Muria
menghadang di depannya. “Minggir! Jangan menghalangi jalanku!”, hardik Pathak
Warak. “Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono!” “Goblok ! Roroyono sudah
dibawa Kapa dan Gentiri! Kini aku hendak mengejar mereka!”, umpat Pathak Warak.
“Untuk apa kau mengejar mereka?” “Merebutnya kembali!”, jawab Pathak Warak
dengan sengit. “Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Roroyono telah dijodohkan
denganku!” ujar Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda. Tanpa basa-basi Pathak
Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangsak ke arah Sunan Muria dengan
jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia, bukan tandingan putra Sunan Kalijaga yang
memiliki segudang kesaktian. Hanya dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak
telah jatuh atau roboh di tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya
lenyap dan ia menjadi lumpuh, tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.
Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut
gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita secara
jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria
mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono
dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun segera dilaksanakan. Kapa dan
Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah Tanah di desa Buntar. Dengan hadiah
itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang hidupnya serba berkecukupan. Sedang
Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup
bahagia, karena merupakan pasangan ideal. Tidak demikian halnya dengan Kapa dan
Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari Keling ke Ngerang agaknya mereka
terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tak
dapat tidur. Wajah wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu
sudah diperistri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi.
Hanya penyesalan yang menghujam di dada. Mengapa dulu mereka buru-buru
menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah
sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah
ajaran agama agar laki-laki diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga
kehormatan (kemaluan) mereka. Andaikata Kapa dan Gentiri tidak menatap terus
menerus kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak
akan terpesona, dan tidak terjerat oleh Iblis yang memasang perangkap pada
pandangan mata. Kini Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka
bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah
sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai istri bersama secara bergiliran.
Sungguh keji rencana mereka. Gentiri berangkat lebih dulu ke Gunung Muria.
Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan
Muria, sehingga terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria
keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, hingga akhirnya
Gentiri tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria. Kematian Gentiri cepat
tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup
cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam di malam hari. Tak seorang
pun yang mengetahuinya. Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid
pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap (sirep: dikenal
sebagai ilmu sirep, semacam hipnotis) murid-murid Sunan Muria yang berilmu
rendah… yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa
menculik dan membawa wanita impiannya itu ke pulau Seprapat. Pada saat yang
sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan
kepada Wiku Lodhang datuk di Pulau Seprapat. Ini biasa dilakukannya karena
baginya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang
Wiku itu pernah menolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak. Seperti
ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain
dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan agung.
Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan
ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang
pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara sukarela. Ternyata, kedatangan
Kapa ke Pulau Seprapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang datuk. “Memalukan!
Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan istri kakang seperguruanmu
sendiri itu!”, hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah. “Bapa Guru ini
bagaimana, bukankah aku ini muridmu? Mengapa tidak kau bela?”protes Kapa.
“Sampai mati pun aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya
itu muridku sendiri!”. Perdebatan antara guru dan murid itu berlangsung lama.
Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejutnya
Sunan Muria melihat istrinya sedang tergolek di tanah dalam keadaan terikat
kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya
yaitu Wiku Lodhang Datuk. Begitu mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa
langsung melancarkan serangan dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk
menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang
dilakukan Kapa. Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang
mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut
Kapa. Ternyata, serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa
berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria.
Mampu membalikkan serangan lawan. Karena Kapa mempergunakan aji pamungkas yaitu
puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya
sendiri. “Maafkan saya tuan Wiku…”, ujar Sunan Muria agak menyesal. “Tidak
mengapa. Menyesal aku telah turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu
digunakan untuk jalan kejahatan”, gunam sang Wiku. Bagaimana pun Kapa adalah
muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono
dan Sunan Muria kembali ke Padepokan dan hidup berbahagia.
9. Sunan Gunung Jati
9. Sunan Gunung Jati
Asal-usul Dalam usia masih muda
Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan
kedudukannya sebagai Raja Mesir. Tapi anak muda yang masih berusia dua puluh
tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di
Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu
Syarif Nurullah. Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru
kepada beberapa ulama besar di daratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu
ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa
ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah. Perjuangan Sunan Gunungjati Seringkali
terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang
bergelar Sunan Gunungjati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah
adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja
Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian
disebut Sunan Gunungjati. Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang
dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah
Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sunan
Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai fathullah atau Fatahillah atau
Faletehan menurut lidah orang Portugis. Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah
Muda’im datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah
mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu
disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi
sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di
Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya. Syarifah
Muda’im minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati. Syarifah
Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk
Kahfi membuka Pesanteren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah
lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati. Tibalah saat yang ditentukan,
Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif
Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut,
Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif
Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi. Disebutkan,
pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran
untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam
kembali tapi tidak mau. Meski Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak
menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif
Hidayatullah kemudian menlanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk Serang
sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat
yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah dijodohkan
dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah
kemudian Syarif Hidayatullah dikaruniai dua orang anak yaitu Nyi Ratu Winaon
dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa, Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut
bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan
beliau juga membantu berdirinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan
Demak dan para wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan
Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama
dengan gelar Sultan. Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi
mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin
bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti:
Surantaka, Japura, Wanagiri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi
wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara
Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang
besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri
Tiongkok. Salah seroang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari
negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara
Cirebon dan negeri Cina makin erat. Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang ke
negri Cina dan kawin dengan putri kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien.
Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan
perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon
dengan negeri Cina. Hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan
dalam dunia perdagangan. Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien
diganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar, ayah putri Ong Tien
ini membekali putrinya dengan harta benda yang tidak sedikit. Sebagian besar
barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu
sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana dan masjid
Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan motif-motif hiasan dinding
dari negeri Cina. Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas
prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan
masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya wali songo dan sejumlah tenaga
ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan alijaga
mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan
ummat. Selesai membangun masjid, diteruskan dengan membangun jalan-jalan raya
yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk
memperluas pengembangan Islam di seluruh tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya
bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu.
Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.
Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaannya ke pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tetapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat dim Malaka. Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa. Pada tahun 1521 Sultan Demak dipegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa. Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran. Mengapa Pajajaran membantu Portugis? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas. Ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya. Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati? Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman adalah guru yang terbaik. Dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah. Portugis kembali ke Malaka, sedang tentara Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasuka Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu oleh putra Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin. Fatahillah kemudian diangkat sebagai Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Fatahillah tidak dapat tinggal lebih lama di Jayakarta, karena Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat. Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon kedua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan. Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar Sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai kasultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adipati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati. Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568 dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, Pangeran Cakrabuana beliau dimakamkan di Gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai. Fatahillah dimakamkan di tempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga. Legenda Sunan Gunungjati dan Putri Cina Kurang lebi sekitar tahun 479, Sunan Gunungjati pergi ke daratan Cina dan tinggal di daerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil. Daratan Cina sejak lama dikenal sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka di sana Sunan Gunungjati juga berdakwah dengan jalan memanfaatkan ilmu pengobatan. Beliau menguasai ilmu pengobatan tradisional. Di samping itu, pada setiap gerakan fisik dari ibadah shalat sebenarnya merupakan gerakan ringan dari terapi pijat atau akupuntur –terutama bila seseorang mau mendirikan shalat dengan baik, benar lengkap dengan amalan sunnah dan tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat Cina agar tidak makan daging babi yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan shalat lima waktu, makam orang yang berobat kepada Sunan Gunungjati banyak yang sembuh sehingga nama Gunungjati menjadi terkenal di seluruh daratan Cina. Di negeri Naga itu Sunan Gunungjati berkenalan dengan Jenderal Cheng Ho dan sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, serta Feis Hsin, ketiga orang ini sudah masuk Islam. Pada suatu ketika Gunungjati berkunjung ke hadapan Kaisar Hong Gie, pengganti Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming. Dalam kunjungan itu Sunan Gunungjati berkenalan dengan putri Kaisar yang bernama Ong Tien. Menurut versi lain yang mirip sebuah legenda, sebenarnya kedatangan Sunan Gunungjati di negeri Cina adalah karena tidak sengaja. Pada suatu malam, beliau hendak melaksanakan shalat Tahajud. Beliau hendak shalat di rumah tapi tidak bisa khusyu’. Beliau heran, padahal bagi para wali, sahalat tahajud itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kemudian Sunan Gunungjati shalat di atas perahu yang ditambatkan di tepi pantai Cirebon. Di sana beliau dapat shalat dengan khusyu’. Bahkan dapat tidur dengan nyenyak setelah shalat dan berdoa. Ketika beliau terbangun, beliau merasa kaget. Daratan pulau Jawa tidak nampak lagi. Tanpa sepengetahuannya beliau telah dihanyutkan ombak hingga sampai ke negeri Cina. Di negeri Cina beliau membuka praktik pengobatan. Penduduk Cina yang berobat disuruhnya melaksanakan shalat. Setelah mengerjakan shalat mereka sembuh. Makin hari namanya makinterkenal, beliau dianggap sebagai shinse atau tabib sakti yang berkepandaian tinggi. Kabar adanya tabib asing yang berkepandaian tinggi terdengar oleh Kaisar. Sunan Gunungjati dipanggil ke istana. Kaisar Cina hendak menguji kepandaian Sunan Gunungjati. Sebagai seorang tabib dia pasti dapat mengetahui nama seorang yang hamil muda atau belum hamil. Dua orang Kaisar disuruh maju. Sedang yang seorang lagi masih perawan namun perutnya diganjal dengan bantal sehingga nampak seperti orang hamil. Sementara yang benar-benar hamil perutnya masih kelihatan kecil sehingga nampak seperti orang yang belum hamil. “Hai tabib! Mana di antara puteriku yang hamil?” tanya Kaisar. Sunan Gunungjati diam sejenak, ia berdoa kepada Tuhan. “Hai orang asing mengapa kau diam? Cepat kau jawab!”, bentak Kaisar Cina. “Dia!” jawab Sunan Gunungjati sembari menunjuk putri Ong Tien yang masih perawan. Kaisar tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Demikian pula seluruh menteri dan semua orang yang ada di balairung istana Kaisar. Namu tiba-tiba tawa mereka terhenti, karena putri Ong Tien menjerit keras sembari memegangi perutnya. “Ada apa anakku?” tanya Kaisar. “Ayah! Saya benar-benar hamil!” Maka gemparlah seisi istana. Ternyata bantal yang di perut Puteri Ong Tien telah lenyap entah kemana. Sementara perut putri yang cantik itu benar-benar membesar seperti orang hamil. Kaisar munjadi murka. Sunan Gunungjati diusir dari daratan Cina. Sunan Gunungjati menurut. Hari itu juga ia pamit pulang ke Pulau Jawa. Namun Puteri Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta kepada Sunan Gunungjati maka dia minta kepada ayahnya agar diperbolehkan menyusul Sunan Gunungjati ke Pulau Jawa. Kaisar Hong Gie akhirnya mengijinkan puterinya menyusul Sunan Gunungjati ke Pulau Jawa. Puteri Ong Tien dibekali harta benda dn barang-barang berharga lainnya seperti bokor, guci emas, dan permata. Puteri cantik itu dikawal oleh tiga orang pembesar kerajaan yaitu Pai Li Bang seorang menteri negara, Lie Guan Chang dan Lie Guan Hien. Pai Li Bang adalah salah seorang murid Sunan Gunugjati tatkala beliau berdakwah di negeri Cina. Dalam pelayaran ke Pulau Jawa, mereka singgah di Kadipaten Sriwijaya. Begitu mereka datang para penduduk menyambutnya dengan meriah sekali. Mereka merasa heran. “Ada apa ini?” Pai Li Bang bertanya kepada tetua masyarakat Sriwijaya. Tetua masyarakat balik bertanya,”Siapa yang bernama Pai Li Bang?” “Saya sendiri”, jawab Pai Li Bang. Kontan Pai Li Bang digotong penduduk di atas tandu. Dielu-elukan sebagai pemimpin besar. Dia dibawa ke istana Kadipaten Sriwijaya. Setelah duduk di kursi Adipati, Pai Li Bang bertanya,”Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Tetua masyarakat itu menernagkan,”Bahwa Adipati Ario Damar selaku pemegang kekuasaan Sriwijaya telah meninggal dunia. Penduduk merasa bingung mencari penggantinya, karena putera Ario Damar sudah menetap di Pulau Jawa. Yaitu Raden Fatah dan Raden Hasan. Dalam kebingungan itu muncullah Sunan Gunungjati, beliau berpesan bahwa sebentar lagi akan datang rombongan muridnya dari negeri Cina, namanya Pai Li Bang. Muridnya itulah yang pantas menjadi pengganti Ario Damar. Sebab muridnya itu adalah seorang menteri negara di negeri Cina. Setelah berpesan demikian Sunan Gunungjati meneruskan pelayarannya ke Pulau Jawa. Pai Li Bang memang muridnya. Dia semakin kagum kepada gurunya yang ternyata mengetahui sebelum kejadian, tahu kalau dia bakal menyusul ke Pulau Jawa. Pai Li Bang tidak menolak kleinginan gurunya, dia bersedia menjadi Adipati Sriwijaya. Dalam pemerintahannya Sriwijaya maju pesat sebagai kadipaten yang paling makmur dan aman. Setelah Pai Li Bang meninggal dunia maka nama kadipaten Sriwijaya diganti dengan nama kadipaten Pai Li Bang. Dalam perkembangannya karena proses pengucapan lidah orang Sriwijaya maka lama kelamaan kadipaten itu lebih dikenal dengan sebutan Palembang hingga sekarang. Sementara itu Puteri Ong Tien meneruskan pelayarannya hingga ke Pulau Jawa. Sampai di Cirebon dia mencari Sunan Gunungjati. Tapi Sunan Gunungjati sedang berada di Luragung. Puteri itu pun menyusulnya. Pernikahan antara Puteri Ong Tien dengan Sunan Gunungjati terjadi pada tahun 1481, tapi sayang pada tahun 1485 Puteri Ong Tien meninggal dunia. Maka jika anda berkunjung ke makam Sunan Gunungjati di Cirebon janganlah anda merasa heran, di sana banyak ornamen Cina dan nuansa-nuansa Cina lainnya. Memang ornamen dan barang-barang antik itu berasal dari Cina
Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaannya ke pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tetapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat dim Malaka. Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa. Pada tahun 1521 Sultan Demak dipegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa. Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran. Mengapa Pajajaran membantu Portugis? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas. Ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya. Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati? Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu. Pengalaman adalah guru yang terbaik. Dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah. Portugis kembali ke Malaka, sedang tentara Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya. Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasuka Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu oleh putra Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin. Fatahillah kemudian diangkat sebagai Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Fatahillah tidak dapat tinggal lebih lama di Jayakarta, karena Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat. Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon kedua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan. Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya. Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar Sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai kasultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adipati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati. Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568 dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, Pangeran Cakrabuana beliau dimakamkan di Gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai. Fatahillah dimakamkan di tempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga. Legenda Sunan Gunungjati dan Putri Cina Kurang lebi sekitar tahun 479, Sunan Gunungjati pergi ke daratan Cina dan tinggal di daerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil. Daratan Cina sejak lama dikenal sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka di sana Sunan Gunungjati juga berdakwah dengan jalan memanfaatkan ilmu pengobatan. Beliau menguasai ilmu pengobatan tradisional. Di samping itu, pada setiap gerakan fisik dari ibadah shalat sebenarnya merupakan gerakan ringan dari terapi pijat atau akupuntur –terutama bila seseorang mau mendirikan shalat dengan baik, benar lengkap dengan amalan sunnah dan tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat Cina agar tidak makan daging babi yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan shalat lima waktu, makam orang yang berobat kepada Sunan Gunungjati banyak yang sembuh sehingga nama Gunungjati menjadi terkenal di seluruh daratan Cina. Di negeri Naga itu Sunan Gunungjati berkenalan dengan Jenderal Cheng Ho dan sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, serta Feis Hsin, ketiga orang ini sudah masuk Islam. Pada suatu ketika Gunungjati berkunjung ke hadapan Kaisar Hong Gie, pengganti Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming. Dalam kunjungan itu Sunan Gunungjati berkenalan dengan putri Kaisar yang bernama Ong Tien. Menurut versi lain yang mirip sebuah legenda, sebenarnya kedatangan Sunan Gunungjati di negeri Cina adalah karena tidak sengaja. Pada suatu malam, beliau hendak melaksanakan shalat Tahajud. Beliau hendak shalat di rumah tapi tidak bisa khusyu’. Beliau heran, padahal bagi para wali, sahalat tahajud itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kemudian Sunan Gunungjati shalat di atas perahu yang ditambatkan di tepi pantai Cirebon. Di sana beliau dapat shalat dengan khusyu’. Bahkan dapat tidur dengan nyenyak setelah shalat dan berdoa. Ketika beliau terbangun, beliau merasa kaget. Daratan pulau Jawa tidak nampak lagi. Tanpa sepengetahuannya beliau telah dihanyutkan ombak hingga sampai ke negeri Cina. Di negeri Cina beliau membuka praktik pengobatan. Penduduk Cina yang berobat disuruhnya melaksanakan shalat. Setelah mengerjakan shalat mereka sembuh. Makin hari namanya makinterkenal, beliau dianggap sebagai shinse atau tabib sakti yang berkepandaian tinggi. Kabar adanya tabib asing yang berkepandaian tinggi terdengar oleh Kaisar. Sunan Gunungjati dipanggil ke istana. Kaisar Cina hendak menguji kepandaian Sunan Gunungjati. Sebagai seorang tabib dia pasti dapat mengetahui nama seorang yang hamil muda atau belum hamil. Dua orang Kaisar disuruh maju. Sedang yang seorang lagi masih perawan namun perutnya diganjal dengan bantal sehingga nampak seperti orang hamil. Sementara yang benar-benar hamil perutnya masih kelihatan kecil sehingga nampak seperti orang yang belum hamil. “Hai tabib! Mana di antara puteriku yang hamil?” tanya Kaisar. Sunan Gunungjati diam sejenak, ia berdoa kepada Tuhan. “Hai orang asing mengapa kau diam? Cepat kau jawab!”, bentak Kaisar Cina. “Dia!” jawab Sunan Gunungjati sembari menunjuk putri Ong Tien yang masih perawan. Kaisar tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Demikian pula seluruh menteri dan semua orang yang ada di balairung istana Kaisar. Namu tiba-tiba tawa mereka terhenti, karena putri Ong Tien menjerit keras sembari memegangi perutnya. “Ada apa anakku?” tanya Kaisar. “Ayah! Saya benar-benar hamil!” Maka gemparlah seisi istana. Ternyata bantal yang di perut Puteri Ong Tien telah lenyap entah kemana. Sementara perut putri yang cantik itu benar-benar membesar seperti orang hamil. Kaisar munjadi murka. Sunan Gunungjati diusir dari daratan Cina. Sunan Gunungjati menurut. Hari itu juga ia pamit pulang ke Pulau Jawa. Namun Puteri Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta kepada Sunan Gunungjati maka dia minta kepada ayahnya agar diperbolehkan menyusul Sunan Gunungjati ke Pulau Jawa. Kaisar Hong Gie akhirnya mengijinkan puterinya menyusul Sunan Gunungjati ke Pulau Jawa. Puteri Ong Tien dibekali harta benda dn barang-barang berharga lainnya seperti bokor, guci emas, dan permata. Puteri cantik itu dikawal oleh tiga orang pembesar kerajaan yaitu Pai Li Bang seorang menteri negara, Lie Guan Chang dan Lie Guan Hien. Pai Li Bang adalah salah seorang murid Sunan Gunugjati tatkala beliau berdakwah di negeri Cina. Dalam pelayaran ke Pulau Jawa, mereka singgah di Kadipaten Sriwijaya. Begitu mereka datang para penduduk menyambutnya dengan meriah sekali. Mereka merasa heran. “Ada apa ini?” Pai Li Bang bertanya kepada tetua masyarakat Sriwijaya. Tetua masyarakat balik bertanya,”Siapa yang bernama Pai Li Bang?” “Saya sendiri”, jawab Pai Li Bang. Kontan Pai Li Bang digotong penduduk di atas tandu. Dielu-elukan sebagai pemimpin besar. Dia dibawa ke istana Kadipaten Sriwijaya. Setelah duduk di kursi Adipati, Pai Li Bang bertanya,”Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Tetua masyarakat itu menernagkan,”Bahwa Adipati Ario Damar selaku pemegang kekuasaan Sriwijaya telah meninggal dunia. Penduduk merasa bingung mencari penggantinya, karena putera Ario Damar sudah menetap di Pulau Jawa. Yaitu Raden Fatah dan Raden Hasan. Dalam kebingungan itu muncullah Sunan Gunungjati, beliau berpesan bahwa sebentar lagi akan datang rombongan muridnya dari negeri Cina, namanya Pai Li Bang. Muridnya itulah yang pantas menjadi pengganti Ario Damar. Sebab muridnya itu adalah seorang menteri negara di negeri Cina. Setelah berpesan demikian Sunan Gunungjati meneruskan pelayarannya ke Pulau Jawa. Pai Li Bang memang muridnya. Dia semakin kagum kepada gurunya yang ternyata mengetahui sebelum kejadian, tahu kalau dia bakal menyusul ke Pulau Jawa. Pai Li Bang tidak menolak kleinginan gurunya, dia bersedia menjadi Adipati Sriwijaya. Dalam pemerintahannya Sriwijaya maju pesat sebagai kadipaten yang paling makmur dan aman. Setelah Pai Li Bang meninggal dunia maka nama kadipaten Sriwijaya diganti dengan nama kadipaten Pai Li Bang. Dalam perkembangannya karena proses pengucapan lidah orang Sriwijaya maka lama kelamaan kadipaten itu lebih dikenal dengan sebutan Palembang hingga sekarang. Sementara itu Puteri Ong Tien meneruskan pelayarannya hingga ke Pulau Jawa. Sampai di Cirebon dia mencari Sunan Gunungjati. Tapi Sunan Gunungjati sedang berada di Luragung. Puteri itu pun menyusulnya. Pernikahan antara Puteri Ong Tien dengan Sunan Gunungjati terjadi pada tahun 1481, tapi sayang pada tahun 1485 Puteri Ong Tien meninggal dunia. Maka jika anda berkunjung ke makam Sunan Gunungjati di Cirebon janganlah anda merasa heran, di sana banyak ornamen Cina dan nuansa-nuansa Cina lainnya. Memang ornamen dan barang-barang antik itu berasal dari Cina
Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu
masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk
manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan,
bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke
pemerintahan.
No comments:
Post a Comment