Resensi Film “99 Cahaya di
Langit Eropa”
Judul film : 99
cahaya di langit eropa
sutradara : guntur soeharjanto
penulis skenario : hanun salsabilla rais, rangga almahendra
sutradara : guntur soeharjanto
penulis skenario : hanun salsabilla rais, rangga almahendra
produser :
yoenk, ody mulya hidayat
tanggal terbit : 30 oktober 2014
genre : drama
pemain : acha septriasa, abimana aryasatya, raline shah, dewi sandra,
alex abbad, marissa nasution, mino fernandes, geccha tavvara
durasi : 90 menit
tanggal terbit : 30 oktober 2014
genre : drama
pemain : acha septriasa, abimana aryasatya, raline shah, dewi sandra,
alex abbad, marissa nasution, mino fernandes, geccha tavvara
durasi : 90 menit
99 cahaya langit di eropa adalah
film layar lebar indonesia yang ditayangkan di bioskop, film ini berisikan
tentang perjalanan spritual yang dilalui oleh pasangan suami istri, hanum (acha
septriasa) dan rangga (abimma arasatya) dalam menulusuri jejak-jejak
peninggalan islam di eropa. Dalam pengembaraan ke negara-negara di benua biru
itu, mereka menemukan rahasia peradaban agung manusia, ribuan tahun lalu dan
mempelajari hayat ilmu pengetahuan.
Tak
disangka, tak dinyana, putri beliau, Hanum Salsabiela Rais dibantu suaminya
Rangga Almahendra adalah penulis novel berbakat. Tulisan Hanum sebagaimana
dalam novel “99 Cahaya Langit Eropa” menjadi novel “Orang Indonesia Bertualang
Di Eropa” ketiga yang sukses menjadi best seller lalu difilmkan, setelah Laskar
Pelangi “Edensor” karya Andrea Hirata yang filmnya juga akan tayang tanggl 19
Desember 2013 lalu Negeri 5 Menara nya A. Fuadi yang filmnya tayang tahun 2012
lalu.
dikisahkan
bahwa Hanum harus mengambil kursus bahasa Jerman yang merupakan bahasa ibu di
negara Austria, agar ia dapat berkomunikasi dengan penduduk sekitar selama
petualangannya hidup mendampingi suami di sana.
Dari kelas
kursus bahasa Jerman inilah, Hanum berkenalan dengan seorang wanita Turki
bernama Fatma Pasha yang dalam film ini diperankan oleh (Raline Shah, aktris
yang terkenal dengan film “5 cm”) , yang setiap berjalan-jalan dengan Hanum,
hampir selalu tak lupa menjemput dari sekolah dan mengajak serta putri kecilnya
Ayse (diperankan oleh pendatang cilik yang memukau akting nya, Geccha
Qeaghaventa).
Teman-teman
Rangga di kampus diperankan juga secara menarik yaitu mahasiswa Muslim dari
India bernama Khan (Alex Abbad) seorang Muslim fanatik yang bahkan rela tak
lulus ujian demi ikut sholat Jumat, Steffan (Nino Fernandez) seorang
agnostik/atheis yang terus mencecar Rangga dengan pertanyaan logika seputar
“Apakah Tuhan itu ada?”…..lalu sosok Maarja (Marissa Nasution) yang merupakan
seorang gadis cantik Eropa Timur yang “menaruh hati” dengan Rangga tak peduli
bahwa Rangga tealh beristri.
Menarik di
sini adalah akting Alex Abbad yang sering tampil sebagai “bajingan bejat” dalam
film-film sebelumnya, terutama film Merantau nya Iko Uwais yang membuat namanya
go international, pun dikenal sebagai VJ MTV yang jahil di akhir tahun
90-an. Dalm film ini tampil begitu “dingin”, begitu tenang, dan terlihat mampu
memerankan seorang Muslim India yang fanatik,….kebetulan secara fisik dia
memang keturunan Timur Tengah….hehehe…no mean to be racist dude. Sementara
dari teman-teamnnya Hanum, selain Fatma di atas, ada teman-teman Turki nya yang
juga tinggal di Osterreich, yang di dalam novel sebenarnya adalah
teman-teman pengajian Fatma, yaitu Latife dan Ezra.Ketika pasangan ini
bertualang ke Paris, mereka juga bertemu seorang tokoh menarik dan simpatik
yaitu Marion Latimer yang diperankan oleh aktris Dewi Sandra dengan lumayan
berkarakter.
Dan jika
Raline saya rasa secara fisik “kurang bule” untuk memerankan wanita
Turki, maka Dewi saya rasa tampang nya “cukup bule” untuk memerankan seorang
mualaf Prancis.
Tak kalah
menarik, kehadiran cameo (tokoh yang bermain film memerankan dirinya
sendiri), Fatin Shidqia bintang X-Factor yang dalam film ini, diceritakan
sedang shooting video clip terbarunya. Rangga dan Hanum bertemu Fatin di
Paris.
Keunggulan
dari film ini adalah jika dilihat Dari segi gambar, film ini cukup baik dalam
mengambil setting keindahan kota-kota Wina dan Paris. Bahkan adegan
Rangga adzan Maghrib di atas menara Eiffel, dengan background kota Paris di
senja yang matahrinya masih terang benderang, cukup menyentuh.
Kelemahan
dari film ini adalah adanya beberapa scene diambil dengan kurang
mendetil. Kemudian Berkali-kali dalam
film ini disebut-sebut nama “Kara Mustapha Pasha”. Tapi tidak pernah
benar-benar dijelaskan siapa dia sebenarnya, kecuali hanya sedikit di bagian
awal film.
Bahkan ada
sebuah adegan Hanum, Fatma dan Ayse sedang berkunjung ke Museum Kota Wina,
tiba-tiba Fatma terlihat sedih memandangi lukisan Kara Mustapha. Tapi di film
hanya dijelaskan bahwa Fatma sedih karena Kara adalah nenek moyang nya. Namun
alih-alih menjadi pahlawan Turki, ia malah membawa aib bagi bangsa Turki.
Kenapa?
Tidak
dijelaskan secara detil dalam film ini, walau di sebelah lukisannya terlihat
jelas lukisan dinding besar menggambarkan pertempuran pasukan Kara melawan
pasukan Austro-Hongaria-Prusia. Namun penonton seperti disuruh menerjemahkan
sendiri apa arti lukisan tersebut.sulit untuk merejemahkan sendiri dari film,
karena gambarnya hanya sekilas.
Tapi tidak
pernah dijelaskan siapa dia, kecuali bahwa ia adalah seorang Panglima Perang
Turki yang pernah bertempur di Austria, lalu mati dalam keadaan menyesal. Menyesal
kenapa?
Dalam novel
diceritakan, bahwa penyerangan Kara Mustapha sekitar 400 tahun lalu ke kota
Wina, berakhir dengan kegagalan, karena ia telah meremehkan pasukan musuhnya,
salah strategi, dan akhirnya pasukannya kalah. Sudahlah kalah perang, bukannya
dilindungi oleh Sultan Turki, tapi ia malah akhirnya dihukum mati di Beograd
yang sekarang menjadi ibukota negara Serbia.
Terus
terang, jika kita terbiasa dengan film-filmnya Hanung Bramantyo, Riri Riza,
atau sutradara tahun 80-an yang pernah membuat film-film kisah orang Indonesia
di Eropa seperti Arifin C. Noer atau Syumandjaya, kualitas cerita Guntur masih
kalah jauh.
Kemudian
yang kurang dari film ini adalah tidak adanya adegan kuliah di Universitas
Sorbonne Paris yang terkenal sebagai “Harvard” nya Eropa itu.
Satu lagi
kaitannya adalah penampilan aktor Abimana Aryasatya yang dalam “99 Cahaya di
Langit Eropa” memerankan tokoh pendamping Hanum yaitu Rangga, maka dalam film
“Laskar Pelangi 3: Edensor” ia memerankan Arai, temannya Ikal.
Sang aktor
sedang ketiban rejeki nomplok, dalam setahun memerankan dua film Indonesia yang
mengambil setting keliling Eropa, dan salah satunya di kota Paris yang
melegenda itu.
Secara
keseluruhan, jika Anda bukan seorang penikmat film yang senang detil adegan,
karena takut detil bisa bikin pusing kepala, maka film “99 Cahaya di Langit
Eropa” ini sudah cukup menghibur.
Dan, cukup
menyampaikan pesan mengenai menyebarkan citra baik Islam dengan tetap
bertoleransi dengan agama lain, walau menurut saya masih kurang menyentuh jika dibandingkan
film Ayat-Ayat Cinta..
No comments:
Post a Comment