Pages

Powered by Blogger.
Get Adobe Flash player

Sunday 11 January 2015

Contoh Resensi buku " 99 Cahaya di Langit Eropa"



Resensi Film “99 Cahaya di Langit Eropa”
Judul film                         :  99 cahaya di langit eropa
sutradara                          :  guntur soeharjanto
penulis skenario                :  hanun salsabilla rais, rangga almahendra
produser                           : yoenk, ody mulya hidayat
tanggal terbit                    : 30 oktober 2014
genre                                : drama
pemain                              : acha septriasa, abimana aryasatya, raline shah, dewi sandra,
                                          alex abbad, marissa nasution, mino fernandes, geccha tavvara
durasi                               : 90 menit


              99 cahaya langit di eropa adalah film layar lebar indonesia yang ditayangkan di bioskop, film ini berisikan tentang perjalanan spritual yang dilalui oleh pasangan suami istri, hanum (acha septriasa) dan rangga (abimma arasatya) dalam menulusuri jejak-jejak peninggalan islam di eropa. Dalam pengembaraan ke negara-negara di benua biru itu, mereka menemukan rahasia peradaban agung manusia, ribuan tahun lalu dan mempelajari hayat ilmu pengetahuan.
Tak disangka, tak dinyana, putri beliau, Hanum Salsabiela Rais dibantu suaminya Rangga Almahendra adalah penulis novel berbakat. Tulisan Hanum sebagaimana dalam novel “99 Cahaya Langit Eropa” menjadi novel “Orang Indonesia Bertualang Di Eropa” ketiga yang sukses menjadi best seller lalu difilmkan, setelah Laskar Pelangi “Edensor” karya Andrea Hirata yang filmnya juga akan tayang tanggl 19 Desember 2013 lalu Negeri 5 Menara nya A. Fuadi yang filmnya tayang tahun 2012 lalu.
dikisahkan bahwa Hanum harus mengambil kursus bahasa Jerman yang merupakan bahasa ibu di negara Austria, agar ia dapat berkomunikasi dengan penduduk sekitar selama petualangannya hidup mendampingi suami di sana.
Dari kelas kursus bahasa Jerman inilah, Hanum berkenalan dengan seorang wanita Turki bernama Fatma Pasha yang dalam film ini diperankan oleh (Raline Shah, aktris yang terkenal dengan film “5 cm”) , yang setiap berjalan-jalan dengan Hanum, hampir selalu tak lupa menjemput dari sekolah dan mengajak serta putri kecilnya Ayse (diperankan oleh pendatang cilik yang memukau akting nya, Geccha Qeaghaventa).
Teman-teman Rangga di kampus diperankan juga secara menarik yaitu mahasiswa Muslim dari India bernama Khan (Alex Abbad) seorang Muslim fanatik yang bahkan rela tak lulus ujian demi ikut sholat Jumat, Steffan (Nino Fernandez) seorang agnostik/atheis yang terus mencecar Rangga dengan pertanyaan logika seputar “Apakah Tuhan itu ada?”…..lalu sosok Maarja (Marissa Nasution) yang merupakan seorang gadis cantik Eropa Timur yang “menaruh hati” dengan Rangga tak peduli bahwa Rangga tealh beristri.
Menarik di sini adalah akting Alex Abbad yang sering tampil sebagai “bajingan bejat” dalam film-film sebelumnya, terutama film Merantau nya Iko Uwais yang membuat namanya go international, pun dikenal sebagai VJ MTV yang jahil di akhir tahun 90-an. Dalm film ini tampil begitu “dingin”, begitu tenang, dan terlihat mampu memerankan seorang Muslim India yang fanatik,….kebetulan secara fisik dia memang keturunan Timur Tengah….hehehe…no mean to be racist dude. Sementara dari teman-teamnnya Hanum, selain Fatma di atas, ada teman-teman Turki nya yang juga tinggal di Osterreich, yang di dalam novel sebenarnya adalah teman-teman pengajian Fatma, yaitu Latife dan Ezra.Ketika pasangan ini bertualang ke Paris, mereka juga bertemu seorang tokoh menarik dan simpatik yaitu Marion Latimer yang diperankan oleh aktris Dewi Sandra dengan lumayan berkarakter.
Dan jika Raline saya rasa secara  fisik  “kurang bule” untuk memerankan wanita Turki, maka Dewi saya rasa tampang nya “cukup bule” untuk memerankan seorang mualaf Prancis.
Tak kalah menarik, kehadiran cameo (tokoh yang bermain film memerankan dirinya sendiri), Fatin Shidqia bintang X-Factor yang dalam film ini, diceritakan sedang shooting video clip terbarunya. Rangga dan Hanum bertemu Fatin di Paris.
Keunggulan dari film ini adalah jika dilihat Dari segi gambar, film ini cukup baik dalam mengambil setting keindahan kota-kota Wina dan Paris. Bahkan adegan Rangga adzan Maghrib di atas menara Eiffel, dengan background kota Paris di senja yang matahrinya masih terang benderang, cukup menyentuh.
Kelemahan dari film ini adalah adanya beberapa scene diambil dengan kurang mendetil. Kemudian Berkali-kali dalam film ini disebut-sebut nama “Kara Mustapha Pasha”. Tapi tidak pernah benar-benar dijelaskan siapa dia sebenarnya, kecuali hanya sedikit di bagian awal film.
Bahkan ada sebuah adegan Hanum, Fatma dan Ayse sedang berkunjung ke Museum Kota Wina, tiba-tiba Fatma terlihat sedih memandangi lukisan Kara Mustapha. Tapi di film hanya dijelaskan bahwa Fatma sedih karena Kara adalah nenek moyang nya. Namun alih-alih menjadi pahlawan Turki, ia malah membawa aib bagi bangsa Turki. Kenapa?
Tidak dijelaskan secara detil dalam film ini, walau di sebelah lukisannya terlihat jelas lukisan dinding besar menggambarkan pertempuran pasukan Kara melawan pasukan Austro-Hongaria-Prusia. Namun penonton seperti disuruh menerjemahkan sendiri apa arti lukisan tersebut.sulit untuk merejemahkan sendiri dari film, karena gambarnya hanya sekilas.
Tapi tidak pernah dijelaskan siapa dia, kecuali bahwa ia adalah seorang Panglima Perang Turki yang pernah bertempur di Austria, lalu mati dalam keadaan menyesal. Menyesal kenapa?
Dalam novel diceritakan, bahwa penyerangan Kara Mustapha sekitar 400 tahun lalu ke kota Wina, berakhir dengan kegagalan, karena ia telah meremehkan pasukan musuhnya, salah strategi, dan akhirnya pasukannya kalah. Sudahlah kalah perang, bukannya dilindungi oleh Sultan Turki, tapi ia malah akhirnya dihukum mati di Beograd yang sekarang menjadi ibukota negara Serbia.
Terus terang, jika kita terbiasa dengan film-filmnya Hanung Bramantyo, Riri Riza, atau sutradara tahun 80-an yang pernah membuat film-film kisah orang Indonesia di Eropa seperti Arifin C. Noer atau Syumandjaya, kualitas cerita Guntur masih kalah jauh.
Kemudian yang kurang dari film ini adalah tidak adanya adegan kuliah di Universitas Sorbonne Paris yang terkenal sebagai “Harvard” nya Eropa itu.
Satu lagi kaitannya adalah penampilan aktor Abimana Aryasatya yang dalam “99 Cahaya di Langit Eropa” memerankan tokoh pendamping Hanum yaitu Rangga, maka dalam film “Laskar Pelangi 3: Edensor” ia memerankan Arai, temannya Ikal.
Sang aktor sedang ketiban rejeki nomplok, dalam setahun memerankan dua film Indonesia yang mengambil setting keliling Eropa, dan salah satunya di kota Paris yang melegenda itu.
Secara keseluruhan, jika Anda bukan seorang penikmat film yang senang detil adegan, karena takut detil bisa bikin pusing kepala, maka film “99 Cahaya di Langit Eropa” ini sudah cukup menghibur.
Dan, cukup menyampaikan pesan mengenai menyebarkan citra baik Islam dengan tetap bertoleransi dengan agama lain, walau menurut saya masih kurang menyentuh jika dibandingkan film Ayat-Ayat Cinta..

No comments:

Post a Comment